Senin, 14 Maret 2011
Kata Punya Kasta
Minggu, 27 Februari 2011
Cerita Jakarta
Matahari, lagi-lagi, kau bikin aku serasa di penggorengan.
Menyengat kulit, keringat tubuh meronta tercabik-cabik.
Rimba beton menatap angkuh.
Keringat bercucuran luruh.
Manusia menjerit mengaduh...
Kuda besi berkeriap riuh.
Aspal luluh.
Napas jadi megap-megap.
Hidung kudu dibekap.
Halte busway jadi atap.
Supaya badan tidak bau berasap.
Jakarta, oven raksasa.
Kamu akan dipaksa menghirup asap knalpot dan debu timah hitam.
Gosong dalam mikrowave bernama kopaja dan metromini.
Dalam tatapanmu aku berteduh, dalam kerinduan aku bersimpuh.
Beranda Hati
Jantungku berdebar kencang.
Apakah jantungmu juga?
Hatiku meradang. Terisi galau sekeranjang.
Bukan aku yang memungut rindu bertebaran.
Pasti angin musim penghujan yang menggoyang.
Tiap helai rindu yang meranggas di pohon kenangan.
Dan ketika helai kerinduan berguguran.
Aku menyusuri jalan setapak menuju pintu hati
dengan kunci yang tergenggam.
Aku lukis dinding hatiku dengan warna-warni pelangi.
Kusediakan meja dengan dua kursi.
Di beranda hati. Untukmu yang hadir nanti.
Bunga-bunga di pinggir jendela hati.
Mesti tersiram doa tiap hari.
Memancarkan keindahan yang sejati.
Kunci yang kugenggam.
Tak akan kubiarkan.
Lalai lepas tercuri pun jangan.
Kamis, 24 Februari 2011
Metamorfosa
kuukir sebuah harapan. Dan aku masih menunggu, bilakah padang satu musim kemarau kan menjelma menjadi bunga penuh warna?
Bilakah padang gersang itu menjadi hijau?
Tiap detik, tiap hembusan napas, tiap detakan jantung.
Tiap aku memejamkan mata. Satu saja pintaku. Menanti janjiMu.
Kutaruh harap, dalam padang gersang itu tengah tumbuh tunas. Kelak, tunas itu kan meretakkan tanah. Menyembul. Batangnya kan terus tinggi. Berakar kuat. Makin menjulang tinggi. Kuat. Lalu ia berbunga.
Dan aku tersenyum. Seperti melihat pelangi di balik awan mendung.
17 November 2009
*
Menanti Hujan di Padang Gersang
Kupanggil engkau Jingga
Yang datang suatu ketika
Mengeringkan padang gersang terburu-buru
Hingga rumput lingsut tertunduk lesu
Kupanggil engkau Biru
Yang datang suatu waktu
Hingga bunga tegak memandang
Datangnya hujan sebagai harapan
Kupanggil engkau Ungu
Yang datang menunggu waktu
Melukis pelangi di langit hati
Senyum yang terbit seperti matahari
November 20, 2008
Hujan, Aku Kangen Padamu!
Aku kangen ketika diam-diam kamu mencium pipiku.
Sore hari kita biasa berdansa bersama.
Pamm paramm pamm pammpaaa....
Rintik-rintikmu membentuk irama.
Sepanjang hari ini langit biru yang menghiburku.
Di kanvasnya ada gumpalan-gumpalan kapas putih abu-abu.
Melenggok-lenggok bersama sang bayu.
Duduuu bidaamm duruudduuu....
Mereka berseri-seri seraya bersenandung merdu.
-in the middle of nowhere, 23 April 2010-
Senin, 31 Januari 2011
Love Letters: Musim Gugur
Galau dan rindu yang kering berjatuhan, helai demi helai.
Kupungut satu-satu ke dalam keranjang kenangan.
Semuanya nuansa kecoklatan. Barangkali ingatan memudar perlahan.
Tapi kamu tersimpan bagai pualam.
Angin bertiup kencang. Segala yang terserak di bumi beterbangan.
Tapi kita tidak akan goncang.
Sejumput rasa rindu menggalau di kemudian hari.
Matahari yang mengedip sekali-kali.
Kumenatap dari jendela hati.
*
Jumat, 22 Oktober 2010
Hujan Sang Kekasih
Kalau kamu melihat butir-butir hujan menempel di jendela, jangan dihapus.
Itu surat cinta dariku.
Kata-kata tak lagi sanggup tertampung di keranjang hati.
Aku minta langit memburai kristal putih.
Angin meniupnya hingga sampai di kaca jendela hati.
Sst... dengar...
Setiap rintiknya di kaca jendela, adalah ketukanku.
Menabuh pintu hatimu.
Rintik hujan menari tap di kaca jendelamu.
Seperti aku yang berdansa dalam pikiranmu.
Gaun putih kupakai menari, terjahit rapi dari tiap bulir anak langit.
Berpijar keperakan. Di matamu menyilaukan.
Hingga langit kelam, rintik masih menutuk. Terus mengetuk.
Di lantai hatimu aku ingin masuk.
Jika embun kristal itu masih belum menguap di kaca jendela.
Coba kamu buka. Hiruplah udara. Wangiku pasti tertinggal di sana.
Kalau bulir di jendela itu jatuh dan menyesap tanah, pandanglah ke bawah.
Aku ada dalam tiap jejak langkah.