|
Review makanan di restoran. Desain dari kreator Canva. |
Pengalaman Tak Menyenangkan Saat Makan
Suatu waktu, siang terik saya memutuskan untuk membeli bakso di tempat langganan saat remaja. Sudah lama saya tak makan di tempat itu, bertahun-tahun malah. Padahal dulu, kala masih berkegiatan di daerah itu saya kerap beli. Tempatnya memang jauh dari tempat tinggal saya. Kebetulan, siang itu saya melewati daerah tempat warung bakso legendaris itu berada.
Kala itu pandemi masih berlangsung. Masih banyak sekolah dan kantor menerapkan berkegiatan dari rumah. Tak heran ketika saya mampir, warung bakso yang biasanya tak pernah sepi itu, justru terlihat melompong. Demikian pula dengan warung-warung lain yang berjejer di sebelahnya.
Saya bergegas duduk dan memesan semangkok bakso. Di tengah asyiknya makan, saya baru menyadari, ada belatung dalam mangkok saus tomat yang diletakkan di meja. Rasanya ingin muntah. Namun saya menahan diri. Saya memanggil penjualnya.
"Mas, lihat, ini ada belatungnya. Beruntung belum saya tuang ke bakso," ucap saya, masih dengan nada sopan.
|
Pengalaman nemu belatung di saos tomat saat makan bakso. Gambar ilustrasi oleh @katanieke dibuat dengan Canva. |
Responnya sungguh mengecewakan saya. Tak ada kata menyesal atau minta maaf. Wajahnya terlihat datar dan tanpa ekspresi. Bahkan ia langsung kembali duduk ke tempatnya semula. Dengan jengkel, saya berdiri dan membawa mangkok saos tomat yang ada belatungnya. Lalu menyodorkan ke tempat ia berada.
"Kok malah dibiarkan? Ini kalau ada pembeli lain bisa termakan. Atau malah kalau pembelinya kesal, sampeyan bisa langsung diviralkan. Warung sampeyan bisa kena imbasnya," tutur saya.
Sejujurnya, sebagai pelanggan sejak lama agak kecewa melihat responnya. Mungkin karena yang melayani kali ini generasi keduanya. Mungkin juga dia agak nge-blank karena pandemi yang memukul ekonomi sedemikian rupa. Kejadian ini saat awal pandemi soalnya. Saya mengenal pemilik generasi pertamanya, saking seringnya dulu datang.
Pengalaman serupa juga pernah saya alami di sebuah resto dalam mal. Yap, bukan warung seperti cerita sebelumnya. Saat itu saya hendak makan malam dan ingin ayam goreng. Mampirlah ke resto itu.
Saat itu memang long week end, tiga hari libur berturut-turut dengan dua tanggal merah berderet. Suasana resto agak sepi. Mungkin karena sudah pukul setengah sembilan malam. Mal juga tak seramai biasanya. Dugaan saya, long week end biasanya mayoritas orang Surabaya keluar kota.
Ketika memesan menu untuk makan di tempat, saya sempat melihat anak kecoa berjalan-jalan di ujung meja dan bagian atas papan menu. Rasanya agak merinding. Usai membayar dan saya membawa makanan ke meja.
Lagi asyik-asyiknya makan tetiba ujung mata saya melihat ada kecoa di meja. Refleks saya menjerit karena kaget. "Kecoa!" Lalu mengibaskan tisu di meja. Makhluk itu lari ke bawah meja. Saya memutuskan pindah meja. Seorang karyawan resto tersebut hanya melongok dari pintu dapur, tapi tak melakukan apa-apa.
Saya kemudian berdiri dan berjalan ke meja kasir. Saya melapor bahwa ada kecoa dan meminta dia melihatnya sendiri. Si karyawan kemudian datang membawa alat kebersihan berupa sapu dan cikrak. Namun responnya mengecewakan.
"Mana kecoanya?" Nadanya seolah mempertanyakan, alih-alih memeriksa meja.
Belum saya membuka mulut untuk menjawab, kecoa itu kembali muncul ke atas lalu lari ke sisi lain. "Tuh!" ucap saya.
Karyawan itu sempat terkejut saat melihat kecoa. Buru-buru ia menangkap dan menepis dengan sapunya. "Ada juga tadi saya lihat di meja kasir," saya menambahkan.
|
Ceritaku ketemu kecoa saat makan di restoran di mal. Ilustrasi dibuat dengan Canva oleh@katanieke |
Karyawan itu kembali masuk ke dapur tanpa mengucapkan apa-apa. Bersikap seolah tak ada apa-apa. Saya terheran-heran, paling tidak situasi demikian ada pernyataan maaf karena konsumen tidak nyaman.
Saya sempat melihat-lihat siapa tahu ada manajernya. Sekadar menyampaikan keluhan soal kebersihan dan kenyamanan buat konsumen. Namun tak kelihatan.
Kebetulan saja saya mengenal pengelola, yang adalah sang atasan manajer. Saya memutuskan mengirim pesan lewat aplikasi perpesanan ponsel. Tentu saja menyampaikan insiden tak mengenakkan ini secara baik-baik dan berharap bisa menjadi evaluasi masukan agar gerainya tetap ramai.
Ketika Resto Piawai Tangani Komplain
Tak selamanya pengalaman 'menyeramkan'. Saya juga mempunyai pengalaman menyenangkan justru ketika mengalami hal tak enak saat memesan makanan. Suatu sore, saya datang ke sebuah resto dalam mal bersama dua kerabat. Kami memesan teh, kentang goreng, dan pisang coklat keju sebagai camilan.
Tak butuh waktu lama, teh pesanan tiba. Sepiring pisang coklat keju menyusul sekitar tujuh menitan. Saya menyesap teh manis panas perlahan-lahan sambil menikmati aroma melatinya. Sementara bibi saya meraih garpu hendak mencicip sepotong pisang coklat keju.
Mendadak raut wajah bibi saya berubah. Dahinya mengerut. Alisnya kemudian terangkat. Ia meletakkan kembali sisa sepotong pisang di piring kecilnya. "Kok rasanya agak sepet ya pisangnya?" ucapnya.
Ia mencuil ujung pisang lain yang terhidang di piring utama. Ternyata rasanya sama. Sepet. Bibi saya melambaikan tangannya, memanggil salah satu karyawan resto tersebut. Seorang perempuan menghampiri meja kami.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanyanya.
"Mbak, ini pisangnya sepet. Coba dibawa dan dicicipi," kata Bibi saya.
"Wah mohon maaf, Bu. Ini saya bawa kembali ke dapur untuk diperiksa. Nanti kami ganti yang baru ya," jawabnya. Sopan sekali.
Tangannya meraih piring berisi pisang keju di meja kami dan membawanya ke sebuah ruangan. Antara ruangan itu dengan ruangan resto terhubung sebuah jendela dengan meja kecil.
"Ada komplain pisang kejunya sepet," kata karyawan perempuan itu pada seseorang di balik ruangan. Melalui jendela kecil itu, ia menyodorkan sepiring pisang keju yang tadi dihidangkan kepada kami.
|
Pengalaman saat menyampaikan komplain ke resto. Berujung dapat kompensasi menu baru. Ilustrasi pisang keju dibuat dengan Canva oleh @katanieke |
Sekitar dua menit kemudian, karyawan perempuan itu menghampiri meja kami kembali. "Ditunggu ya, Bu. Kami buatkan kembali yang baru," ucapnya.
Sambil menunggu, kami menikmati kentang goreng atau french fries. Beberapa menit kemudian, karyawan perempuan itu kembali ke meja kami.
"Bu, mohon maaf. Tadinya kami mau buatkan pisang keju kembali, tapi setelah kami cek stok pisang, ternyata semuanya rasanya sepet. Apakah berkenan kalau kami ganti dengan menu yang harganya sama?"
"Gapapa, Mbak," Bibi saya menyambut dengan sumringah. Ia terkesan dengan respon karyawan resto ini.
Karyawan perempuan itu menyodorkan buku menu. Bibi saya menoleh pada saya, meminta rekomendasi makanan.
"Gimana kalau singkong keju? Ini harganya sama dengan pisang keju," kata saya sembari jemari menunjuk gambar di buku menu.
Bibi saya mengangguk-angguk tanda setuju. "Mbak, singkong keju ya," ucapnya kepada karyawan resto.
Karyawan itu segera mengambil kembali buku menu. "Baik, Bu. Mohon ditunggu ya," katanya.
Tak butuh waktu lama, kira-kira 10 menit, sepiring singkong keju sudah terhidang di meja kami. Saat kami cicipi, rasanya memuaskan. Enak. Singkongnya empuk. Rasanya gurih bercampur dengan keju. Cocoklah jadi teman santapan sambil minum teh hangat.
Saat kami pulang, karyawan resto mengucapkan terima kasih. "Ditunggu kedatangannya kembali," ucapnya.
Jujur, saya sangat terkesan. Itu sebabnya saya selalu mengunjungi resto itu, sampai sekarang. Mereka tak takut komplain. Cara mereka menghadapi komplain juga bagus. Pelanggan puas. Citra resto juga bagus.
|
Pengalaman mendapat respon baik saat komplain di restoran. Ilustrasi dibuat dengan Canva oleh @katanieke |
Apa yang saya pelajari dari cerita ini?
1. Saya memprediksi, para karyawan di resto ini telah mendapat pelatihan bagaimana menghadapi konsumen dan komplain. Memang sebaiknya sebuah usaha makanan dan minuman menyiapkan diri jika menghadapi komplain. Kalau perlu bikin SOP (Standar Operation Procedure).
2. Jangan reaktif. Jangan pula cuek ketika konsumen menyampaikan uneg-unegnya. Justru itu bisa jadi peluang sebuah resto menjadikan konsumen loyal, apabila ditangani benar.
3. Apabila komplain menyangkut hal kebijakan yang karyawan tak punya wewenang, bisa dicatat untuk disampaikan ke atasan.
Bagaimana pula dari sisi konsumen? Perlukah konsumen membuat keributan dan menjadi drama queen saat menyampaikan komplain?
1. Sampaikan komplain dengan kalimat yang baik dan jelaskan dengan detail agar pihak resto paham.
2. Attitude adalah kunci. Tak perlu mengancam apalagi membawa-bawa label status sosial. Contohnya:
-"Kamu tidak tahu, saya siapa? Saya ini... blabalabla."
-"Saya ini influencer! Kamu tahu berapa pengikut saya di media sosial?"
Jangan lakukan itu. Please, itu malu-maluin diri sendiri. Jadilah elegan.
3. Sebaiknya sampaikan komplain langsung ke pihak resto ketimbang merekamnya lalu langsung mempostingnya ke dunia internet. Kita tidak bisa memprediksi bagaimana reaksi netizen di dunia maya. Jangan sampai hal itu jadi bumerang bagi diri sendiri. Ingat, jarimu harimaumu. Kita juga bisa menyebabkan sebuah usaha tutup, bangkrut, lalu karyawannya mengalami pemutusan hubungan kerja.
4. Menyampaikan komplain secara langsung dan baik, justru membuat konsumen diingat dengan baik pula. Saat kunjungan berikutnya, mereka akan memastikan konsumen mendapat layanan yang baik. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka menunggu saran lainnya.
Barangkali teman pembaca pernah mengalami hal serupa. Bolehlah berbagi di kolom komentar tanpa menyebutkan brand atau nama tertentu, agar tidak terkena pasal pencemaran nama baik.
Salam,
Kata Nieke