Senin, 06 Juni 2011
Love Letters: Rimba Kata
Pagi telah menjemputku, dengan kereta impian.
Ada nada-nada yang menari-nari dalam hatiku
saat aku menghirup udara hari baru.
Nada-nada yang menuntunku padaMu.
Ada bara hangat dalam tungku hatiku.
Yang membakar jiwaku untuk selalu rindu
mencari dan mendengar suara Kekasihku.
Dan saat merindu itu menggelegak tumpah ruah,
ribuan kata dalam surat cintaNya
melompat-lompat mendesak isi kepalaku.
Kadang kata-kata itu menjelma
menjadi angin puyuh yang mengobrak-abrik isi hatiku.
Mendobrak benteng dan keangkuhanku.
Satu waktu kata-kata itu menjadi selimut hangat
yang mendekap hati yang lara dan terluka.
Menyesap perih dan membuangnya.
Saat lain, kata-kata itu menjadi tamparan
menyentakkan ketika jalan sudah goyang
dan agak menyimpang.
Kala emosi yang mengendalikan.
Ribuan kata itu bisa singgah
dan jadi apapun yang bukan kamu mau,
tapi kamu butuh.
Rimba kata yang ditulis
dengan kasih ayah pada anaknya.
Kamis, 21 April 2011
Mempertanyakan Hari Kartini
Betapa terkesan meriah pagi ini. Membuka facebook, sejumlah orang menghiasi statusnya dengan mengucapkan selamat hari Kartini.
Lepas dari dunia maya, apabila Anda naik busway, terlihat sopir perempuan mengenakan pakaian adat. Sebuah situs menulis berita bahwa si sopir mengenakan baju Kartini.
Tak ketinggalan, apabila melewati jalanan, iring-iringan anak sekolah yang mengenakan pakaian adat.
Berikutnya... Sebuah pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun saat hari Kartini : kenapa dirayakan dengan perempuan mengenakan pakaian adat? Sedangkal itukah hari Kartini?
Coba tanya pada orang, apa yang mereka ingat dari sebuah perayaan hari Kartini. Jawabnya hampir sama : mengenakan pakaian adat. Atau, coba tanya, siapa Kartini? Perempuan dengan kebaya dan rambut digelung. Lantas apa?
Berapa yang menjawab bahwa hari ini adalah peringatan seorang perempuan yang mencoba memperjuangkan haknya, setara dengan kaum laki-laki?
Tak heran, sekian tahun, belum banyak kebijakan yang mendukung kemajuan perempuan di negeri ini. Saya tak menyangkal bahwa perempuan telah mendapat kursi di gedung Senayan, menjadi pejabat pemerintahan, menteri. Bahkan negara ini pernah mempunyai seorang presiden perempuan.
Tapi berapakah perempuan, yang digerakkan dengan kesadaran, untuk membuat kebijakan dan sesuatu yang bisa mentransformasi kehidupan perempuan?
Adakah jumlah perempuan pemegang kekuasaan sebanding dengan jumlah anak perempuan yang menjadi anak jalanan, korban penganiayaan, pelecehan seksual dan pemerkosaan? Adakah kebijakan yang membuat perubahan nyata pada grafik perdagangan perempuan (trafiking)?
Berapa perempuan yang punya kesadaran penuh bahwa mereka bukan warga kelas dua? Berapa perempuan yang sadar mereka bukan sekedar "dapur", "sumur", "kasur"? Berapa laki-laki yang--sebagai akibat kebijakan mendukung transformasi perempuan--kemudian memperlakukan perempuan dengan hormat dan layak? Berapa persen laki-laki yang memandang perempuan bukan sekedar obyek seks?
Bahkan, sebuah Undang-undang anti pornografi bisa menjadi sebuah bumerang untuk kaum perempuan.
Nyatanya, ketika saya berjalan dengan kemeja lengan panjang dan celana jeans, tidak meluputkan saya dari celotehan iseng dari laki-laki di pinggir jalan.
Nyatanya, perempuan dengan pakaian tertutup tak terhindar dari kekerasan.
Nyatanya, perempuan belum cukup dilindungi dalam kasus pelecehan seksual, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga.
Membayangkan semua itu, lagi-lagi, saya menelan ludah. Menghela napas. Sebuah bayangan yang masih melayang-layang di udara.
Dan ah.... Lelah pun mendera saya. Kartini, jika kau hidup hari ini, seperti apakah reaksimu?
Berang? Menggebrak meja di gedung Senayan? Mengusap airmata?
Saya mempertanyakan makna perayaan hari Kartini. Kartini berbicara tentang intelektualitas, nasionalisme, diskriminasi... BUKAN KEBAYA DAN KONDE.
Saya awali hari ini dengan panas yang menggigit kulit. Saya nikmati senja dengan laskar air dari langit. Saya tutup hari ini dengan pertanyaan-pertanyaan pelik.
Setidaknya saya tersenyum, ketika membaca sebuah tulisan ini :
"Dalam Tuhan, tidak ada perempuan tanpa laki-laki, dan laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatunya berasal dari Allah."
Lalu saya memejamkan mata dan mengangkat tangan saya. Saya tahu dan tahu, Dia tak pernah mengabaikan saya. Dia tahu nilai seorang perempuan.
***
-Nieke Indrietta-
Jurnalis, penulis yang perempuan, perempuan yang menulis, anti poligami.
Senin, 04 April 2011
Ketika Kamu Terluka
Tiap orang punya satu ruang kosong dalam hatinya yang tidak bisa diisi siapapun. Yang jika dipaksa isi, hanya ada luka. Ada malam-malam panjang yang merana kala ruang itu masih hampa. Siapapun yang singgah di sana hanya berikan lara. Itu bukan untuk mereka.
Hatimu terlalu berharga untuk mereka yang pernah menoreh luka. Airmatamu terlalu indah untuk mereka yang menggurat duka.
Waktu berbohong padamu, jika ia bilang bisa menyembuhkan luka.
Hati yang luka dan ruang yang hampa ibarat gelas anggur yang baru terisi separuhnya. Gelas anggur tak kan menjadi utuh jika ia bertemu dengan gelas anggur separuh pula. Sebab gelas itu tadinya adalah gelas yang kosong. Tak bisa ia menuangkan anggur yang separuh ke gelas yang isinya juga separuh, kalau akan menjadi gelas yang kosong. Gelas dengan anggur separuh hanya bisa terisi oleh pemilik anggur sendiri. Yang bisa membuatnya terisi penuh. Utuh.
Waktu adalah pendusta yang lihai. Membuatmu percaya telah menyembuhkan luka. Tidak. Ia hanya menguburnya saja.
Saat kamu telah terlena, mendadak ia bermain dalam alam pikiranmu. Memutar semua kenangan lama. Menguak luka. Waktu membuatmu tak sadar, kamulah yang memegang remote-nya. Kamu bisa menekan tombol "pause". Dan tetap berada dalam masa.
Menguak luka pun adalah suatu kenyamanan, yang membuat orang betah berkubang di sana. Jangan biarkan waktu memberi dusta. Kamu berharga.
Ketika kamu terluka, Ia terluka. Ketika kamu menangis, Ia menangis. Ia yang menenunmu sejak dalam kandungan ibu.
Dia, yang ingin membalut lukamu.
Senin, 14 Maret 2011
Kata Punya Kasta
Minggu, 27 Februari 2011
Cerita Jakarta
Matahari, lagi-lagi, kau bikin aku serasa di penggorengan.
Menyengat kulit, keringat tubuh meronta tercabik-cabik.
Rimba beton menatap angkuh.
Keringat bercucuran luruh.
Manusia menjerit mengaduh...
Kuda besi berkeriap riuh.
Aspal luluh.
Napas jadi megap-megap.
Hidung kudu dibekap.
Halte busway jadi atap.
Supaya badan tidak bau berasap.
Jakarta, oven raksasa.
Kamu akan dipaksa menghirup asap knalpot dan debu timah hitam.
Gosong dalam mikrowave bernama kopaja dan metromini.
Dalam tatapanmu aku berteduh, dalam kerinduan aku bersimpuh.
Beranda Hati
Jantungku berdebar kencang.
Apakah jantungmu juga?
Hatiku meradang. Terisi galau sekeranjang.
Bukan aku yang memungut rindu bertebaran.
Pasti angin musim penghujan yang menggoyang.
Tiap helai rindu yang meranggas di pohon kenangan.
Dan ketika helai kerinduan berguguran.
Aku menyusuri jalan setapak menuju pintu hati
dengan kunci yang tergenggam.
Aku lukis dinding hatiku dengan warna-warni pelangi.
Kusediakan meja dengan dua kursi.
Di beranda hati. Untukmu yang hadir nanti.
Bunga-bunga di pinggir jendela hati.
Mesti tersiram doa tiap hari.
Memancarkan keindahan yang sejati.
Kunci yang kugenggam.
Tak akan kubiarkan.
Lalai lepas tercuri pun jangan.
Kamis, 24 Februari 2011
Metamorfosa
kuukir sebuah harapan. Dan aku masih menunggu, bilakah padang satu musim kemarau kan menjelma menjadi bunga penuh warna?
Bilakah padang gersang itu menjadi hijau?
Tiap detik, tiap hembusan napas, tiap detakan jantung.
Tiap aku memejamkan mata. Satu saja pintaku. Menanti janjiMu.
Kutaruh harap, dalam padang gersang itu tengah tumbuh tunas. Kelak, tunas itu kan meretakkan tanah. Menyembul. Batangnya kan terus tinggi. Berakar kuat. Makin menjulang tinggi. Kuat. Lalu ia berbunga.
Dan aku tersenyum. Seperti melihat pelangi di balik awan mendung.
17 November 2009
*
Menanti Hujan di Padang Gersang
Kupanggil engkau Jingga
Yang datang suatu ketika
Mengeringkan padang gersang terburu-buru
Hingga rumput lingsut tertunduk lesu
Kupanggil engkau Biru
Yang datang suatu waktu
Hingga bunga tegak memandang
Datangnya hujan sebagai harapan
Kupanggil engkau Ungu
Yang datang menunggu waktu
Melukis pelangi di langit hati
Senyum yang terbit seperti matahari
November 20, 2008