Konten flexing, dicaci karena pamer kemewahan kontras dengan kondisi sosial masyarakat. Namun juga dicari, dianggap motivasi mencapai mimpi.
Sehari sebelum hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, saya begitu terkejut membaca berita yang viral. Seorang tukang ojek daring (online) di Medan, Sumatera Utara, meninggal karena kelaparan ketika sedang menunggu pesanan makanan untuk pelanggan.
Pandemi Covid-19 dinyatakan usai. Roda ekonomi mulai berputar. Namun berita Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kerap ada. Kalaupun bukan PHK, diberikan pilihan untuk mengambil pensiun dini. Seperti yang dialami tetangga saya, yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai tenaga bidang keuangan di sebuah perusahaan multinasional. Tiba-tiba saja ia harus menelan pil pahit diminta pensiun dini.
Beberapa waktu lalu, saya pun pernah naik taksi daring (online) yang sopirnya korban PHK. Sebelumnya ia sekuriti sebuah mal di Surabaya. Ia banting stir jadi sopir aplikasi taksi daring, dengan meminjam uang kerabatnya untuk beli mobil.
"Sebelumnya saya ojek online, tapi ternyata fisik saya tidak kuat bawa sepeda motor. Pernah bawa penumpang dari Surabaya ke Sidoarjo dan sebaliknya," ucap pria yang masih berusia 30 tahunan ini. Lantaran itulah ia sampai sakit sebulan. Ia kemudian memutuskan beralih menjadi sopir taksi daring.
Di tengah kondisi sosial seperti inilah, saya heran dengan konten-konten yang beredar di media sosial, termasuk konten dari influencer, konten kreator, maupun tokoh publik. Kok ya masih saja ada ya, yang memamerkan gaya hidup mewahnya. Bahkan ada yang mengumbar penghasilannya sambil menaruh uang bergepok-gepok di atas meja. Konten-konten itu viral, laku keras, jumlah like dan tayangnya tinggi, banyak penggemarnya, dan FYP (masuk kategori For Your Page) dalam istilah platform medsos Tiktok.
Apakah para pembuat konten gaya hidup tajir ini termasuk 185 ribu orang di sebuah bank swasta berlogo biru yang jumlah tabungannya di atas Rp 1 miliar per Juli 2024? Entahlah. Itu 185 ribu orang dari satu bank. Belum bank lain.
Kalaupun jumlah 185 ribu orang itu digabung dengan nasabah tajir dari bank lain, tetap saja jumlahnya masih kecil dibanding jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 283.884.089 per 4 September 2024 mengacu Worldometer dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jumlah kelas menengah tidak kalah miris. Badan Pusat Statistik menyatakan adanya tren penurunan penduduk kelas menengah yang terjadi sejak 2020, kala masih pandemi Covid-19. Dari sebanyak 57,33 juta orang kategori kelas menengah pada 2019, tahun 2024 berkurang menjadi 47,85 juta orang.
Dengan kata lain, dalam empat tahun, jumlah kelas menengah turun sebesar 9,48 juta orang. Tren tersebut menunjukkan indikasi kelompok kelas menengah rentan menuju kelas masyarakat miskin. Perlu diwaspadai kesenjangan sosial akan semakin lebar antara kelas tajir dengan kelas menengah apalagi kelas masyarakat miskin. Jelas ini seperti alarm tentang kondisi sosial.
Jangan Pamer Makan di Depan Orang Lapar
Saya seperti dejavu mengingat kala masih mahasiswa dalam kelas kuliah Ilmu Komunikasi pernah ada materi membahas kenapa konten sinetron televisi dengan cerita orang kaya dan hidup mewahnya memiliki jumlah penonton yang tinggi. Generasi Baby Boomer dan Milenial tentu tidak lupa, era 1990-an marak sinetron dengan tema-tema menjual mimpi.
Produsen sinetron sih senang bikin sinetron semacam itu. Soalnya selama rating penonton tinggi--berdasarkan riset lembaga di bidang pertelevisian, iklan mengalir deras. Balik modal, bahkan cuan berlipat ganda. Siklus itu seperti terulang di era digital dan kejayaan media sosial seperti sekarang.
Apakah di era kejayaan sinetron dengan tema menjual mimpi tak ada yang memprotes? Banyak! Para pemerhati sosial, kritikus, peneliti menyuarakannya di kolom-kolom opini surat kabar. Ya, balik lagi ke alasan 'selera pasar'. Toh telenovela dari Meksiko dan drakor juga banyak yang bertema begitu.
Ketika penonton televisi banyak yang beralih ke dunia digital beserta platform media sosialnya, sayangnya siklus itu berulang. Di tengah kejenuhan melihat konten flexing, saya menemukan sejumlah konten kreator yang melawan arus tren flexing. Salah satunya, Inem Jogja di Tiktok. Saya tertarik mengikuti akunnya, ketika menonton konten tentang prinsipnya yang menolak flexing.
"Jangan pamer makan di depan orang lapar," demikian salah satu kalimat Inem Jogja yang saya ingat betul dan membuat saya terkesan, dalam salah satu kontennya. Ia sering berpesan seperti ini dalam konten-kontennya.
Itulah alasannya Inem Jogja menolak membuat konten flexing. Padahal ia termasuk affiliate di Tiktok yang jumlah konsumennya besar. Bahkan beberapa kali menerima penghargaan dari Tiktok. Namun penampilannya di konten sederhana, kerap dengan daster atau baju rumah khas emak-emak. Tak pernah mengumbar penghasilannya dengan dalih memberi motivasi dan personal branding.
Sesuai namanya Inem Jogja, ia memang berdomisili di Jogja. Nama aslinya Made Dyah Agustina, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Perempuan Bali ini pernah masuk dalam acara Kick Andy pada 2019. Ia mendirikan sanggar seni belajar tari yang menggratiskan murid-murid dari kalangan orang tidak mampu secara ekonomi.
Sebelum aktif membuat konten di medsos, ia gemar membuat acara berbagi. Hal-hal itulah yang ia lanjutkan di medsosnya, Tiktok.
Konten berbagi yang inspiratif lainnya adalah akun Instagram Ryan_nus, seorang sopir ojol. Penampilannya apa adanya ala mas-mas ojek. Kontennya seputar kesehariannya, berbagi barang endorsan dengan teman-teman ojolnya.
Lho, kan ada juga akun dari tokoh tajir yang kontennya berbagi? Masalahnya akun tokoh tajir ini kerap memberi sesuatu, tapi sambil memperlihatkan barang dan rumah mewahnya serta gaya hidupnya sebagai kelas atas. Ini hanya akan melahirkan tipe penonton konten dengan mental meminta.
Ingat kan kejadian viral beberapa waktu lalu. Ada seorang anak nekad mendatangi rumah akun tokoh publik tersebut, lalu minta dibelikan ponsel mewah? Saat ditawari opsi lain yang dipandang lebih sesuai kebutuhannya, anak ini malah menolak.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena si konten kreator atau influencer ini tanpa ia sadari tetap memperlihatkan ketimpangan sosial. Pencitraan yang muncul memang positif, ia adalah orang kaya raya yang dermawan. Namun inipun masih kategori konten flexing.
Algoritma adalah Kunci
Pertanyaan berikutnya, kenapa sejumlah orang yang lebih inspiratif dan layak mendapat panggung ini masih kalah dengan akun-akun dengan konten flexing? Karena nilai-nilai berhadapan dengan mesin algoritma media sosial. Mesin tak bisa membaca value, meski mungkin bisa menetapkan standar konten layak sesuai pedoman komunitas.
Media sosial tidak seperti halnya sebuah media jurnalistik dengan nilai-nilai dan kode etiknya. Dalam media jurnalistik ada dewan redaksi yang menyeleksi dan menyaring konten dari para reporter di lapangan. Bahkan penyaringan dimulai sejak dari reporter, ketika mengumpulkan materi untuk kontennya. Baik konten tulisan maupun audio visual. Semua dikerjakan manusia mengacu pada nilai dan kode etik. Terdapat sanksi apabila terjadi pelanggaran.
Mesin algoritma media sosial hanya membaca jumlah likes, reaksi baik suka dan tidak atas konten tertentu, dan jumlah komentar--baik komentar positif dan negatif. Itu sebabnya tak sedikit konten kreator dan influencer yang nekad membuat konten kontraversial demi viral duluan. Dihujat netizen tutup kuping dan mata, yang penting FYP dulu.
Cara ini jangan ditiru. Jangan ya Dek, ya. Risikonya tinggi. Bisa-bisa malah di ujung tanduk, tersandung pasal pencemaran nama baik--atau pasal lainnya, dan berakhir di balik jeruji besi.
Dari sisi pengguna media sosial, sebenarnya bisa saja kita terlibat mengurangi akun flexing. Bukankah algoritma adalah kunci? Ya tidak usah saja memberi panggung. Tidak perlu beri emoticon suka atau tidak suka. Tidak perlu meninggalkan jejak komentar. Cukup scroll atau lewati saja kontennya. Jangan ditonton berulang atau bahkan menyebarkan konten itu ke orang lain. Niscaya mesin algoritma akan membaca.
Pertanyaannya, sanggup tidak jempol kita menahan diri?
Di sisi dunia nyata, pengguna media sosial bisa meniru langkah-langkah inspiratif yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Inem Jogja dan Ryan_nus.
Saya kerap menemukan toko atau warung yang kalau dipesan secara daring (online), ada penawaran opsi membelikan makanan untuk mitra pengemudi. Tidak jarang, mereka menawarkan diskon tambahan ketika pembeli memesan tambahan menu untuk sopir ojol. Minimal belikan es teh, sopir itu juga senang.
Paling penting saat berbagi, jangan dari hasil berutang. Nanti kalau kamu berbagi kisahmu di story, bakal dicap pencitraan oleh teman yang meminjamkan. Kemarin melas-melas (memohon dengan sangat) minjam 100 ribu dengan berbagai alasan, besoknya pasang status hedon atau sok filantropis padahal kere (tidak punya duit). Malah terkesan seperti pansos (panjat sosial), ini juga termasuk flexing.
Harus diingat, konten flexing itu bisa menjadi pisau yang berbalik arah terhadap pembuatnya. Risiko paling minim, ada yang kirim pesan pribadi, "Pinjam seratus, dong." Risiko lainnya, diincar petugas pajak dikira menyembunyikan harta dan penghasilan. Risiko paling tinggi, diincar KPK--kalau pembuat kontennya tokoh publik dan keluarga pejabat.
Salam hangat,
Nieke Indrietta
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Referensi:
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/08/13/warga-kota-metropolitan-meninggal-karena-kelaparan-alarm-kerawanan-sosial-yang-harus-diatasi
https://kumparan.com/kumparanbisnis/nasabah-tajir-bca-tembus-185-ribu-orang-per-juli-2024-23Q8RTylJY3
https://www.worldometers.info/world-population/indonesia-population
https://lifestyle.kompas.com/read/2019/02/06/103300720/inem-jogja-mantan-dosen-yang-pilih-jadi-wong-edan-demi-kebaikan?page=all
https://www.cnbcindonesia.com/research/20240830100306-128-567691/jumlah-kelas-menengah-ri-turun-duit-habis-buat-makan-uang-galon
Konten flexing, dicaci tapi dicari...hiks iya juga sih.
BalasHapusKadang muak juga lihat para tokoh ternama pamer harta benda di tengah ada orang yang mati kelaparan. Memang ga gampang menahan diri. Padahal ada orang pajak yang mematai-matai..ketahuan deh gratifikasi, korupsi dll dst
Btw, saya juga ngikuti inem jogja dan mas ojol ryan
konten flexing bagi para content creator kadang juga menjadi pancingan biar yang lihat bisa klik link mereka atau ikut gabung mereka ya, mbak. jujur aku juga lama-lama muak sama konten-konten flexing ini karena kayaknya kok gampang banget nyari duit. heu
BalasHapusAh, tenyata kita sama kak. Aku juga suka dengan konten Instagram Ryan_nus, bahkan jadi followernya. Aku lebih suka konten begini karena memberi tanpa harus menyombongkan diri.
BalasHapusSaat ini konten flexing makin merajalela tapi netizen makin bijak dalam memilah dan memilih. Banyak dampak negatif flexing yang secara tidak langsung membuat orang jadi ambisius
BalasHapusPrihatin banget dengan kondisi saat ini, disaat banyak orang berjuang mengumpulkan rupiah demi rupiah hanya untuk makan. Tetapi disisi lain orang-orang pada flexing kekayaan. Emang hidup itu tidak fair banget.
BalasHapusmenjadi tinggi tanpa merendahkan yang lain, sepakat banget Kak, jujurly bukan ,otivasi yang ada kalau kihat kontenflexing justru sebel lihatnya, sebel bukan karena iri lo ya, tapi miris melihat di tempat lain justru kelaparan dan di bawah garis kemiskinan
BalasHapussaat ini golongan menengah yang jarang mendapatkan perhatian dan bantuan padahal tingkat kesulitan yang mereka hadapi juga sama, sehingga mereka justru turun menjadi lebih miskin, semakin jauhlah gap antara si kaya dan si miskin
iya nih wkwk
BalasHapustapi ya gimana
tergantung niatnya kali ya
soalnya kalo aku pengen dokumentasi lewat ig-story biar bis didownload sewaktu-waktuuu
mba.... ko bener banget sih, miris ya sama kenyataan di lapangan. Kadang liat postingan flexing ngerasa kaya, eman-eman uangnya, tapi kembali sadar kalo itu karena saya yang uangnya sedikit, jangan-jangan juga bakal begitu klo banyak wkwkwk. cuma ya memang terlalu curam jurang pemisah antara kaya dan miskin di negeri ini, huhuhu
BalasHapusHaha, g enak banget ya risiko konten flexing
BalasHapusAda yang pinjam seratus sampai harus diincar petugas pajak ya
Dah, klo bahagia simpan sendiri, jangan dipamerin ya
wah bener juga nih, niat flexing mungkin buat yang lain tapi malah boncos diincar petugas pajak, tapi kalau duitnya banyak mah harusnya memang bayar pajak yang sesuai dong ya...
BalasHapus