Penggunaan bungkus dan kemasan plastik tidak terhindari. Bagaimana kita bisa mengurangi sampah plastik dengan cara sederhana?
Ilustrasi eco-friendly living. Foto: Nieke |
Sebelum berangkat ke sebuah pasar tradisional di Surabaya, saya menyiapkan wadah-wadah pakai ulang alias tepak ke dalam tas saya. Dua kotak plastik dan satu berbentuk mangkok dengan tutupnya. Wadah-wadah itu rencananya untuk menampung jajan curah yang hendak saya beli. Sejak perayaan Imlek sepekan lalu, saya terbayang-bayang ingin makan manisan kulit jeruk dan mangga, serta asinan kiamboy. Kok repot amat sampai bawa wadah sendiri? Memangnya penjual toko tidak menyediakan bungkusan? Hm. Justru itu. Saya sedang diet plastik. Makanan-makanan yang hendak saya beli itu biasanya dibungkusi kantong plastik dari tokonya, yang ujung-ujungnya akan berakhir menjadi sampah. Makanya saya bawa wadah-wadah pakai ulang itu termasuk tas belanja pakai ulang, tumbler, dan botol minum--saat bepergian.
Penggunaan bungkus dan kemasan plastik sepertinya memang tidak terhindari. Segala hal dibungkus plastik, mulai dari produk hingga makanan. Berkegiatan di rumah--seperti bekerja dan bersekolah dari rumah--lantaran pandemi juga justru meningkatkan jumlah sampah dari rumah tangga. Orang memesan makanan dan minuman dari layanan aplikasi daring. Saat dikirimkan makanan dan minuman dibungkus plastik. Kalau begini caranya, sampah plastik akan terus meningkat. Tak heran kalau media-media nasional sampai menyatakan Indonesia darurat sampah. Bahkan beberapa Tempat Penampungan Akhir (TPA) terancam tutup saking tak mampu lagi menampung luberan sampah. Hufh.
Pencerahan itu datang tatkala saya mendapat kesempatan ngobrol dengan para penggagas gerakan minim sampah. Poin
pentingnya adalah bagaimana kita bisa menjadi bijak berplastik,
sehingga barang yang usai dipakai itu memiliki siklus dan tak
hanya teronggok di tempat sampah. Jadi, sampah yang telah dikonsumsi tidak lari ke tempat sampah atau berakhir di TPA. Tapi bisa didaur ulang menjadi barang baru, atau digunakan kembali.
Salah satu tokoh penggagas yang saya ajak ngobrol ini membuat aplikasi berbasis lingkungan yang menggunakan ekonomi sirkular. Itu adalah sistem ekonomi yang meminimalkan penggunaan sumber
daya, limbah, emisi serta berusaha menjaga kelestarian alam dengan
mengupayakan penggunaan kembali dan daur ulang.
Nama aplikasinya Octopus Indonesia, menjadi platform ekosistem yang menjembatani orang yang menyetor sampah; pemulung yang direbranding dengan istilah pelestari--yang kemudian menjual kemasan ke bank sampah. Lalu bank sampah yang jadi mitra ini menjualnya ke industri. Di tengah pandemi, aplikasi yang ia buat tak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tapi juga membantu pemulung dan orang-orang yang terkena pemutusan hubungan kerja. Bahkan ada seorang pemulung yang sampai bisa bayar tunggakan pinjaman online dan bayar uang sekolah anaknya, berkat menggunakan aplikasi ini. Penasaran dengan cerita Octopus yang beroperasi di dua wilayah di Indonesia, yakni Bali dan Makassar, Sulawesi Selatan ini? Tulisan hasil ngobrol saya dengan Co-founder dan CEO Octopus Indonesia, Moehammad Ichsan ini sudah tayang di Line Today Indonesia dalam Edisi Spesial Peduli Sampah. Klik di sini untuk baca lengkapnya. Omong-omong, saya lanjutin ya, cerita saya bawa buntut wadah pakai ulang itu ke pasar. Sesampai di pasar, ndilalah,
mbak penjaga toko di pasar itu lagi pegang-pegang jempol kaki sambil
motong kuku. "Mau nyari apa, Mbak? Permen? Coklat? Kerupuk?"
Ngeliat apa yang dilakukan si embak, otomatis di kepala terbayang. Ntar dia ngambilin jajan snack curah gak cuci tangan. Habis megang jempol dan gunting kuku terus kena makanannya. Aaaak tidaaaak.
"Kiamboi yang dilapisi permen gak ada ya?" Sengaja sebut makanan yang sepertinya gak ada di toko itu.
Si embak menjawab gak ada, tentu saja. Sesuai harapan saya. Pupus sudah niat jajan padahal udah tepak, tas belanja kain, dan bayangan nyamil manisan dan asinan. Hiks. Mesti nyari toko yang higienis dulu. Dah manisan, dah kiamboi. Dah asinan.
Apakah saya kapok bawa buntut tepak, wadah pakai ulang, dan botol minum dari rumah? Enggak. Yang perlu saya lakukan adalah mencari toko yang jual jajan curah dan menjaga higienis serta kebersihan.
Bagaimana kita bisa kontribusi kurangi sampah dari rumah?
1. Cari aplikasi setor sampah
Seandainya aplikasi Octopus itu sudah beroperasi di kota saya, tentu saya sudah bisa nyetor botol-botol kemasan plastik sambil mager di rumah. Apalagi di era pandemi yang bikin kita terkurung mager beraktivitas di rumah. Sayangnya belum sih. Octopus baru beroperasi di Makassar dan Bali. Oh beruntunglah teman-teman entusias lingkungan yang tinggal di sana. Tinggal buka Google Play store dan mengunduhnya di gawai.
Setahu saya ada beberapa aplikasi lain yang cara kerjanya mirip. Ada pula yang belum berbentuk aplikasi. Jadi hanya berupa gerakan tertentu yang mengumpulkan sampah tertentu. Misalnya sampah makanan, sampah botol plastik, dan sebagainya. Biasanya mereka menyediakan nomor kontak tertentu. Lalu, antara ada yang menjemput sampah yang hendak kita setor atau kita yang menyerahkannya ke lokasi tertentu.
2. Setop atau kurangi belanja baju baru
Data Kementerian Lingkungan pada 2018 mengungkap timbunan sampah di Indonesia sebanyak 65,79 ton, termasuk sampah tekstil dan pakaian. Industri fast fashion dituding menjadi salah satu penyebab. Omong-omong, fast fashion itu sebuah tren pakaian yang modenya berganti tiap musim. Tren ini mendorong masyarakat 'rajin' belanja baju. Namun secepat orang belanja baju, secepat itu pula orang bosan pada baju lama yang dianggap sudah tidak tren. Baju lama inilah yang biasanya menjadi sampah.
The Sustainable Fashion Forum pernah menyatakan, industri mode secara global menjadi faktor penyebab sekitar 10 persen dari total emisi karbon dunia dan 20 persen limbah air dunia. Mencengangkan bukan? Selain itu, dari pakaian yang kita kenakan, ada kebun dan tanaman yang dibabat untuk membuat bahan baku pakaian tersebut.
Saya sendiri sudah setop beli baju baru sejak 2015. Lemari pakaian jadi tidak penuh, kita juga bisa berhemat anggaran tiap bulan. Itu yang paling penting, BERHEMAT. Duh, sampai dikepslok. Uangnya bisa dialihkan buat pos kebutuhan yang lain. Cerita saya setop beli baju baru, bisa dibaca di sini.
Pakaian lama yang sudah tidak terpakai lantaran kebesaran atau kekecilan, saya salurkan untuk donasi di gereja saya. Biasanya pakaian itu dijual lagi dengan harga sangat murah untuk kaum yang membutuhkan dan hasil penjualan dibelikan sembako untuk disumbangkan.
Setahu saya, di tiap kota selalu ada gerakan-gerakan semacam donasi pakaian bekas layak pakai seperti ini. Mereka akan menampungnya dan menyalurkannya ke tempat yang lebih sesuai. Ada yang didonasikan untuk korban bencana, panti, atau dibuat garage sale. Itu lebih baik sih daripada membuang pakaian ke tempat sampah begitu saja.
Kalaupun membeli baju baru, upayakan bahan yang dibeli adalah bahan ramah lingkungan. Bahan yang ramah lingkungan biasanya memang sedikit lebih dalam hal harga, namun awet kita pakai bertahun-tahun. Modelnya juga lebih klasik sehingga mau musim apapun tetap cocok dikenakan. Di Surabaya, ada brand lokal Yusiclovic yang membuat pakaian dengan bahan-bahan ramah lingkungan. Ceritanya di sini.
Brand lokal Surabaya, Yusiclovic. Foto: Nieke
3. Kurangi sampah dengan bawa wadah
Kalau kita sudah memperkirakan akan berbelanja apa saja, kita bisa menyiapkan wadahnya bahkan sejak dari rumah lho. Walaupun konsekuensinya, kita bawa 'buntut' banyak. Tapi wadah yang kita bawa dari rumah itu bisa dipakai berulang-ulang ketimbang menggunakan bungkus plastik dari toko yang berujung berakhir di tempat sampah.
Biasanya kalau saya bepergian juga bawa tumbler, botol minuman, sedotan pakai ulang. Ketika membeli minuman kekinian yang biasanya pakai gelas cup plastik, saya minta pegawainya untuk menaruhnya di botol minuman/tumbler saya. Beberapa brand malah ada yang beri diskon kalau kita pakai tumbler sendiri lho. Lumayan kan, ngirit.
Tanpa bepergian, kita juga bisa pakai sedotan pakai ulang ini di rumah. Sedotan ini ada yang terbuat dari bambu, ada pula yang dari stainless. Sudah banyak yang jual, biasanya sepaket dengan sikat pembersihnya.
Kalau saya pribadi lebih suka yang stainless. Kenapa? Lantaran bahannya yang bersifat pengantar, kalau pas minum minuman panas, terasa hangat atau panasnya. Sedangkan kalau minum minuman dingin, lebih terasa 'nyesss' begitu.
Jangan lupa siapkan juga tas belanja pakai ulang. Dan karena ini musim pandemi. sesudah pulang berbelanja, cucilah tas pakai ulang tersebut.
4. Mengolah sampah organik
Beberapa teman saya sudah melangkah lebih jauh daripada saya dengan melakukan hal ini. Mereka membeli komposter dan mengolah sampah organiknya menjadi kompos. Ada beberapa gerakan yang bahkan mengajarkan cara membuat kompos. Misalnya Program Ngompos Kuy dari akun Instagram @kotatanpasampah, materinya disampaikan secara daring dan berlangsung beberapa minggu.
Hal paling penting diingat adalah ternyata sampah terbesar dari rumah tangga adalah sampah organik. Sampah ini biasanya berasal dari dapur yakni sisa-sisa makanan dan sayuran. Dan sampah jenis ini pula yang ternyata paling banyak tertimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sampah makanan tidak bisa diremehkan. Soalnya, apabila tidak ditangani dengan tepat bisa menghasilkan gas metana, yang merusak lapisan ozon. Bahkan, sampah makanan yang menumpuk dan mengeluarkan gas metana ini bisa meledak dan menghancurkan permukiman. Seperti halnya peristiwa ledakan di TPA Leuwigajah, Bandung, 15 tahun yang lalu. Insiden tersebut yang kemudian dijadikan sebagai hari peringatan peduli sampah nasional setiap 21 Februari.
Mengolah sampah organik jadi kompos. Foto: Nieke
Kalau belum sanggup atau belum punya waktu mengolah sampah organik jadi kompos sendiri, paling tidak pisahkan sampah makanan itu. Jangan satukan dengan jenis-jenis sampah lain.
Untuk mengurangi sampah makanan, kita juga bisa dengan membeli atau membuat makanan secukupnya serta menghabiskannya. Sehingga tidak menyisakan atau membuang sisa-sisa makanan.
Ada pula semacam bank makanan yang menampung sisa makanan. Namun perlu diingat, makanan yang ditampung bukanlah makanan sisa yang kita makan. Tapi makanan yang masih layak makan, namun belum terkonsumsi.
Kebanyakan biasanya sisa-sisa makanan yang tak termakan dari katering atau restoran, kafe, dan hotel. Daripada makanan ini dibuang, mereka mendonasikannya ke tempat semacam bank makanan tersebut. Nah, nantinya makanan tersebut disalurkan kepada orang-orang yang tidak mampu.
5. Strategi Tiga Pintu
Tak hanya berkesempatan ngobrol dengan CEO Octopus Indonesia, saya juga berbincang dengan Wilma Chrysanti, Co-founder Kota Tanpa Sampah, yang akun Instagramnya sempat saya sebut di atas, yakni @kotatanpasampah.
Menurut dia, semua orang bisa berkontribusi mengurangi sampah dari rumah. Bahkan sampah bisa dikurangi sejak sebelum mengkonsumsinya dengan cara merencanakan barang-barang yang hendak kita beli. Barang itu mesti bersifat ramah lingkungan, mengurangi potensi sampah dengan membawa wadah.
Wawancara saya dengan Co-founder Kota Tanpa Sampah ini ditayangkan di Line Today Indonesia dalam Edisi Spesial Peduli Sampah. Baca di sini lengkapnya.
*
Kesannya hal-hal di atas simpel banget, tapi sebenarnya kalau lebih banyak orang yang melakukannya, setidaknya timbunan sampah berkurang. Paling tidak kita berkontribusi sama alam minimal lingkungan alam sekitar kita.
Bukankah kita sudah mulai merasakan dampak dari rusaknya alam? Perubahan iklim dan cuaca ekstrem, misalanya. Musim makin tidak teratur. Ketika hujan, curahnya bisa sangat tinggi disertai suhu sangat dingin. Sebaliknya jika musim panas, suhunya bisa sangat panas. Ini bisa menimbulkan dehidrasi dan kekeringan pada lahan-lahan pertanian serta sumber air. Lebih lanjut soal perubahan iklim ini, kamu bisa baca tulisan saya di sini.
Omong-omong, barangkali teman pembaca juga sudah melakukan kegiatan mengurangi sampah. Sudilah kiranya berbagi di kolom komentar, supaya lebih banyak yang terinspirasi.
Selamat hari #pedulisampah nasional!
Salam,
Nieke Indrietta
Sekarang benar-benar sudah darurat sampah, ya, Kak. Mudah-mudahan aplikasi bank sampah itu kedepannya tidak hanya menjangkau Bali dan Makassar saja 🤩 Sebelum itu terwujud mulai sekarang harus membiasakan membawa wadah pakai ulang, nih 🙂❤️
BalasHapusWah seandainya aplikasi Octopus ini juga ada di semua wilayah tentu akan lebih baik ya mba, sejauh ini saya taunya di medan ada Kepul, aplikasi serupa. Nah saya sekarang tinggal di sumsel belum tau ada aplikasi serupa octopus atau nggak, pengumpulan sampah plastik tentu akan memudahkan para pemulung sampah dalam mendapatkan penghasilannya
BalasHapusKebayang mbaa, misalnya 10% aja warga kota mengaplikasikan tips2 ini, niscaya kota kita tercinta jadi makin ciamiikk!
HapusEdukasi seputar sampah memang harus terus dilakukan ya Mba
Praktikkan bareng2 dgn keluarga/komunitas, insyaALLAH makin uhuy!
Saya jujur masih kesulitan untuk diet plastik. Setiap belanja pasti selalu berhubungan dengan plastik. Untuk itu, saya mulai coba minimal membawa tumbler ketika ke luar rumah untuk meminimalisirnya. Terimakasih Mbak Nieke, sudah menginspirasi.
BalasHapusPengopeeasian aplikasinya ada di Makassar juga ya ternyata. DuMakassar, saya tahu founder apilkasi Mal Sampah, sudah beberapa tahun usianya. Penasaran, apakah merka bekerja sama atau sendiri2 ya ...
BalasHapusSenang sekali skrg makin banyak yg peduli lingkungan dan concern terhadap masalah sampah. Semoga masyarakat juga banyak yg terinfluence agar mulai meminimalisir sampah terutama di mulai dari rumah dulu ya..
BalasHapusDi desa pun masalah kerusakan lingkungan sudah mulai terasa. Dasar sungai, dan danau sudah menjadi endapan sampah. Kondisi ini tampak jelas pada musim kemarau. Dikala air sungai telah surut. Selamat sore Mbak nieke.
BalasHapusKeren ini banyak masalah sampah jadi teratasi dengan cara-cara diatas. Baru tahu ada aplikasi Octopus, sayang baru di Makassar dan Bali ya.
BalasHapusSaya sudah mulai mengurangi sampah plastik juga kayak mbak Nieke bawa wadah sendiri kalau belanja, yang belum itu membeli pakaian yang bahannya mudah di daur ulang. Selama ini kalau beli kain belum kepikiran sampai sana, ternyata sampah pakaian juga salah satu pemicu juga ya untuk kerusakan lingkungan. Memang harus kita mulai dari diri sendiri dulu nih kalau mau berubah, terutama dari sampah rumah tangga.
BalasHapusMemang harus dimulai dari diri sendiri ya untuk mengurangi sampah plastik. Kalau nunggu pihak-pihak lain, ya nggak mulai-mulai. Aku masih PR banget nih ngurangin plastik. Kebetulan seringnya belanja sayur pun online, jadi pasti dikasihnya tas plastik.
BalasHapusMemisahkan sampah sisa makanan juga belum kulakukan. Selalu kalah dengan nanti dan tapi. Padahal udah darurat sampai begini ya.
Btw, aplikasi Octopus bagus banget tuh. Katanya dulu DKK nya Semarang juga mau membuat aplikasi sejeni. Tapi entahlah belum ada kabarnya, mungkin karena terdampak pandemi juga. Jadi programmnya mungkin masih pending.
Terima kasih inspirasinya mba. Semoga kota dan di seluruh Indonesia lain dapat menyusul langkah baik ini
BalasHapusSebenarnya kalau ke pasar itu sudah bawa tempat dan tas kain sendiri, namun tak jarang seperti penjual tahu, atau penjual makanan yang agak ada air-airnya gitu, suka membungkuskannya lagi dengan plastik.
BalasHapusKata emang penjualnya "Kasian nanti tasnya eneng basah."
Heuheuu..padahal aku bilang, engga apa-apa.
Inspiratif nih mba tulisannya.Wah aplikasi octopus ada di makassar juga ya mba. Mungkin indonesia jg perlu belajar dari jepang dan korea terkait pengelolaan sampah
BalasHapusMbak, aku penasaran deh sama sustainable fashion. Secara sandang kan salah satu kebutuhan primer ya. Untuk aku sendiri sudah jarang beli baju. Tapi untuk anak-anak yang sedang tumbuh berkembang dengan pesat ini yang agak sulit. Paling ya diakali dengan beli dari brand yang terkenal awet jadi bisa dilungsurkan atau dijual setelah nggak kepake.
BalasHapusDi desaku masih darurat sampah mbak. Baca postingan mbak ini inspiratif babget. Seenggaknya ada yang peduli dengan sampah. Terima kasih mbak nieke sudah menuliskan ini
BalasHapus