Menulis review di blog itu sebaiknya hard selling atau soft selling sih?
Foto: Nieke |
Menulis review itu ibarat seperti sedang memasak. Kita butuh bahan-bahan seperti bumbu, garam, cabe, bawang putih, bawang merah, sayuran, bahan makanan. Nah kalau kita mau memasak, kita mesti belanja bahan-bahan itu dulu. Tak mungkin, bukan, kalau mau masak tapi cuma punya kompor dan wajan.
Itu seperti pengalaman pertama saya saat ikut lomba blog mereview sebuah produk elektronik. Saya tak punya produk itu. Penyelenggara lomba blog itu memang tak mewajibkan peserta lomba hanya untuk yang sudah memiliki produk elektronik. Tapi jujur saja, saya kebingungan ketika harus menulis. Mau menulis berdasarkan pengalaman? Saya tidak menggunakan. Mau beli produknya hanya untuk merasakan pengalaman menggunakan? Harganya jutaan. Iya kalau saya anak sultan. Beli, coba, tulis pengalaman, kalau tidak cocok, jual lagi.
Ketika menulis tanpa pengalaman memakai produk, jujur saja, saya merasa tulisan saya garing banget. Saya seperti cuma menulis spesifikasi barang itu. Tulisan itu seperti kerupuk, krenyes, krenyes. Garing dan hambar. Gatot, gaes. Bukan Gatotkaca. Tapi Gatot alias gagal total.
Sewaktu saya masih bekerja di industri media massa, ada sebuah halaman yang didekasikan untuk review produk elektronik seperti gawai, notebook, dan game. Di halaman itu, biasanya penulis mengulas kelemahan dan kelebihan produk dibanding produk merek sama tapi versi terdahulunya, serta dibanding produk kompetitornya.
Ia juga menceritakan detil desain produk, isi produk, harga, serta pengalamannya saat mencoba produk. Biasanya, penulis halaman itu dipinjami oleh si empunya brand produknya untuk menjajal produknya. Sayangnya, waktu itu saya tak bertugas di halaman itu.
Dari pengalaman pribadi saya, lebih mudah menulis ketika kita punya pengalaman menggunakan produk. Soalnya, pengalaman kita itulah yang menjadi bahan dan bumbu ketika menulis. Ceritanya bakal lebih hidup.
Ada yang pernah mengalami pengalaman seperti saya?
Berburu Resep Menulis Review
Saya menelusuri review-review produk di laman-laman narablog. Ada yang menulisnya hard selling, ada yang soft marketing, ada yang lebih bercerita pengalaman menggunakan produknya, ada yang curhat pengalaman tidak enaknya saat memakai produk, ada yang cuma intinya saja seperti nama produk, harga, dan tempat. Lantaran saya baru di peradaban blogger, saya lalu bertanya-tanya, tulisan review produk yang ideal di blog itu seperti apa.
Pucuk dicinta ulam tiba. Beruntung, saat saya sedang mencari 'resep' tulisan mereview yang ideal di blog, Komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN) mengadakan webinar selama sebulan lebih untuk para narablog. Salah satu temanya adalah seluk-beluk review, dengan pemateri yang juga Ketua Umum Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN), Widyanti Yuliandari. Bergegas saya mendaftar.
Ketika menulis review itu, kata Widyanti Yuliandari, posisi blogger adalah untuk self experience atau menceritakan pengalaman diri. Sebab, si empunya produk sebenarnya juga membutuhkan masukan dari sisi user experience (pengalaman dari sisi pengguna barang). Dari pengalaman diri menggunakan produk, tak jarang si empunya produk jadi memiliki gambaran perbaikan apa saja yang diperlukan serta inovasi untuk produk-produk selanjutnya. Sementara di sisi konsumen, narablog memberitahu manfaat produk tersebut.
"Posisi blogger bukan jualan. Jadi enggak usah muluk-muluk, santai (menulis review)," katanya dalam webinar yang diselenggarakan kerja sama Komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN) dengan IM3 Ooredoo, Jumat 11 September 2020.
Di situlah saya seperti memperoleh konfirmasi, menulis review itu memang perlu self experience atau pengalaman diri. Saya belajar bercermin atas kesalahan yang pernah saya lakukan saat pertama kali mencoba review produk elektronik. Meski lomba yang saya ikuti di waktu lampau itu tak mewajibkan pesertanya untuk memiliki produk elektronik, tapi saya bisa merasakan tulisan saya bahkan lebih garing daripada kerupuk.
Tak punya self experience membuat narablog tak bisa menulis keandalan sebuah produk, menulis kelemahan atau kekurangan produk, serta tak bisa membuat komparasi keunggulan produk itu dengan produk lainnya. Narablog juga tak bisa eksplorasi produk. Hanya mengandalkan spesifikasi produk saja yang informasinya sebenarnya sudah tersebar di mana-mana, itu sungguh membosankan.
Self experience adalah koentji.
Saya kisahkan apa yang saya peroleh dari webinar menulis review di blog ini, siapa tahu teman-teman yang membaca ada yang bernasib seperti saya.
Foto: Nieke |
Siapapun Bisa Menulis Review
Sebelum memulai review, pertama-tama yang harus kita pahami adalah apa sih review itu? Review adalah berupa tulisan yang mengulas suatu produk secara mendalam, testimoni seseorang atas penggunaan sebuah produk, serta pengalaman seseorang sepanjang menggunakan produk itu. Review inilah yang mempengaruhi orang lain untuk ikut menggunakan suatu produk atau bahkan sebaliknya.
Jangan membayangkan sesuatu yang ribet. Review tidak lebih rumit ketimbang status relationship di Facebook yang 'it's complicated'. Dan sudah pasti tidak serumit perasaan yang dikasih harapan dan perhatian, tapi tidak kunjung ditembak sama gebetan.
Pasti kita pernah mengalami mencari salon, restoran, atau tempat rekreasi lantas meminta rekomendasi dari teman. Lalu teman-teman kita memberikan sejumlah lokasi berikut alasan-alasannya kenapa tempat itu layak dikunjungi. Nah sebenarnya itu pun bentuk review.
Sebelum industri 4.0 yang serba digital, review diberikan dari mulut ke mulut. Kalau bahasa Jawanya getok tular. Satu orang bilang A bagus ke orang kedua. Orang ini menyampaikan ke orang ketiga, dan seterusnya dan seterusnya. Hingga menyebarlah informasi itu. Istilah kerennya, pemasaran dari mulut ke mulut atau dalam bahasa Inggrisnya word to mouth marketing.
Pada masa industri media cetak, radio, dan televisi, dunia review word to mouth marketing ini menemukan medium baru. Kalau di cetak bentuknya tulisan berupa review. Di radio, bentuknya testimoni. Pun dengan televisi, yang kemudian melahirkan semacam 'pakar'. Dalam hal kuliner misalnya, siapa tidak kenal dengan Bondan Winarno? Kalau Pak Bondan bilang satu makanan, "Maknyus!" Orang yang membaca tulisannya, yang menonton acara kulinernya, langsung berbondong-bondong ingin menjajal makanan restoran itu.
Nah di era industri 4.0 ini, banyak sekali lahan review. Siapapun bisa menulis review di aplikasi-aplikasi daring tanpa harus menjadi pakar. Bahkan Google memberi tempat pada tukang review awam melalui program Google Local Guide. Omong-omong saya sudah bergabung jadi Google Local Guide. Berarti saya selama ini sebenarnya sudah menulis review tempat, restoran, hotel, tempat wisata. Tapi apakah mereview di aplikasi dan Google itu sama dengan menulis di blog?
Jadi, sebenarnya seperti apa ya idealnya menulis review di blog?
Menulis Review di Blog
Biasanya ada beberapa alasan seorang narablog menuliskan review sebuah produk di blognya. Pertama, ia menjadikan review produk sebagai konten blog berdasarkan pengalaman pribadinya. Misalnya review hotel, review kuliner, review gawai dan notebook serta produk elektronik.
Kedua, ia mengkonsumsi sebuah produk dan ternyata menyukainya. Saking puasnya dengan pelayanan atau manfaat produk, ia ingin membagikan pengalamannya kepada orang lain.
Ketiga, ia tidak puas atau merasa kecewa dengan pelayanan atau pemakaian produk tertentu. Barang atau jasa yang telah digunakan ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Ia pun membagikan pengalaman tersebut dengan harapan produsen memahami kekecewaannya dan melakukan perbaikan.
Keempat, ia menulis review atas permintaan produsen produk tersebut. Artinya, tulisan review itu merupakan paid post atau review yang dibayar. Meski dibayar, biasanya tak sedikit blogger yang menerapkan prinsip independensi. Artinya, ia menulis review secara berimbang, tak melulu kelebihan produk tapi juga kelemahan produk meski hanya tersirat. Biasanya blogger melakukan hal ini demi menjaga kredibilitasnya di mata pembaca. Di saat bersamaan, ia tetap menjaga nama baik produsen dengan tidak secara vulgar mengungkap kelemahan produk. Setiap narablog punya idealisme dan nilainya masing-masing.
Alasan kelima, narablog lagi gabut. Eh.
Bentuk produk yang bisa direview narablog sangat beragam, Mulai dari kosmetik, kuliner, tempat wisata, produk elektronik, mobil, dan sebagainya. Apapun yang direview, biasanya narablog menyesuaikan dengan niche atau tema blognya. Seorang narablog kecantikan atau beauty blogger ya otomatis mereview produk kosmetik, mulai dari make up hingga skin care. Kalaupun blognya termasuk 'gado-gado', seorang narablog mereview produk yang sesuai dengan minat dari pembacanya. Jadi tergantung juga pada siapa target atau segmen pembaca blog.
Saya lebih sering menulis review kuliner karena saya suka makan dan jalan-jalan. Sebelum pandemi, saya juga kerap menulis pengalaman saya bepergian ke tempat wisata A, menginap di hotel B, serta berbagi itinerary perjalanan. Hal-hal yang saya review adalah sesuatu yang jadi passion saya. Apalagi kalau perginya bareng teman-teman yang hobi review buat konten Instagram atau blognya. Acara sebelum makan pun bisa jadi seheboh foto di bawah ini.
Saya sedang memotret makanan untuk konten review di blog. Foto: Nieke. |
Tibalah saatnya menulis review. Pakem di bawah ini tidak seluruhnya saklek, tapi fleksibel dan bisa dikembangkan ketika kita menulis review.
1. Gunakan panca indera
Deskripsikan produk itu menggunakan kelima panca indera kita. Mata, gambarkan dengan detil apa saja yang tampak. Hidung, apakah produk yang direview memiliki aroma tertentu? Telinga, bagaimana dengan suara dari produk itu. Lidah, bagaimana rasa produk itu. Lalu, bagaimana tekstur produk ketika diraba? Eksplorasi produk itu dengan baik.
2. Bandingkan dengan produk serupa
Mengungkap kekurangan suatu produk tidak selalu merupakan hal yang buruk. Tergantung bagaimana kita menuliskannya. Misalnya membandingkan tanpa menyebut nama brand lain atau kompetitor, atau menyebut kelemahan tapi menyertakan keunggulannya. Intinya, upayakan hal-hal baik dengan kata-kata yang baik.
Pengecualian apabila itu merupakan paid-post yang ada permintaan khusus dari klien untuk tidak menyebut kompetitor. Tapi seorang narablog bisa menegosiasikannya apabila ia juga memiliki nilai-nilai yang ingin ia angkat dari blognya. Hal lain yang perlu diingat, menulis kelemahan berbeda dengan menjelek-jelekkan suatu produk, hati-hati dengan kalimat kita. Ada UU ITE yang bisa menjerat.
3. Lengkapi dengan foto
Sebuah review mesti disertai foto. Bisa juga video. Foto dan video itu membantu pembaca blog menangkap secara visual bentuk produknya. Hal-hal yang tak tergambarkan melalui tulisan, bisa tersampaikan melalui gambar. Lagian, gambar itu juga sekaligus menjadi bukti bahwa kita memang pernah menjajal, mencicip, atau berada di tempat yang kita review itu.
4. Tulis secara runut dan runtut
Kalau sudah tiba saat menulis review, ceritakan pengalaman itu secara runut dan runtut. Anggap kamu sedang bercerita pada temanmu. Jadi tulisannya tidak kaku, juga tidak membosankan. Deskripsikan hasil eksplorasi produk ketika menggunakan panca indera.
5. Beritahu benefit produk bagi empunya brand dan pembaca
Bukan hanya pembaca yang memerlukan informasi manfaat sebuah produk. Empunya brand produk juga. Nah untuk bisa memberitahukan benefit atau manfaat, narablog perlu self experience atau pengalaman diri saat memakai produk. Saat memberitahukan manfaat produk, hati-hati, jangan terjebak pada jualan. Narablog mesti mengingat perannya dalam mereview untuk self experience.
Penyampaiannya pun tidak perlu lebay. Jangan sampai PHP-in (pemberi harapan palsu) pada pembaca. Pedih kan hatimu kalau cuma di-PHP gebetan? Begitupun pembaca blogmu. Integritas dan kredibilitas seorang narablog perlu dijaga.
Begitulah kira-kira apa yang saya catat, renungkan, dan pelajari dari mengikuti salah satu webinar yang bertajuk "Seluk Beluk Review" yang diadakan Komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis dan IM3 Ooredoo.
Mengoptimasi Blog di Masa Pandemi
Omong-omong, saya baru tahu kalau IM3 Ooredoo ternyata punya paket yang bisa mendukung narablog mengoptimalisasi blognya, terutama di masa pandemi. Nama paketnya IMPreneur. IMpreneur menyediakan kuota jaringan internet hingga 320GB, yang bisa dipakai sesuai kebutuhan narablog dan timnya, atau keluarganya. Kuota itu sudah termasuk aplikasi media sosial yang biasanya digunakan blogger, di antaranya Whatsapp, Instagram, dan Facebook.
Sebenarnya ada tiga pilihan dari paket IMPreneur ini yang bisa disesuaikan kebutuhan blogger: Max dengan kuota hingga 320 GB, Pro hingga kuota internet 130 GB, dan Fit dengan kuota internet 65 GB. Dengan paket ini, pelanggan bisa membagi kuota internet, menelpon ke operator lain, serta kuota aplikasi kepada karyawan atau keluarganya.
Misalnya A memakai paket IMPreneur Max. Ia bisa membagi-bagi kuota 320 GB itu untuk suami atau istrinya. Bahkan, A bisa memberi kuota itu untuk anak-anaknya untuk memudahkan masa belajar di rumah di masa pandemi Covid-19, yang memang membutuhkan akses internet. Kuota ini bisa dibagi hingga 20 orang. Jadi, si A bertindak sebagai admin utama dari pemegang nomornya. Dialah yang akan membagi-bagi kuota sesuai kebutuhan. Nantinya penggunaan data internet keseluruhan akan terpantau di aplikasi khusus oleh si admin utama.
IMpreneur juga sesuai untuk pelaku bisnis daring di media sosial dan marketplace. Soalnya, kuota itu sudah termasuk mengakses Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Traveloka, Ovo, Gopay, dan Dana. Informasi selengkapnya soal IMPreneur dapat mengunjungi http://indosatooredoo.com/impreneur.
Nah, bagaimana, sudah siap mengoptimasi blogmu?
***
Nieke Indrietta
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog IM3 Ooredoo X IIDN Mengoptimalkan Peluang Dunia Blogging. Info lebih lanjut soal lomba bisa dikepoin di http://bit.ly/im3ooredoxiidn
Wah nyesel aku pas materi review gak ikutan kak hehe. Mantabbb materi webinarnya yess kak.
BalasHapusSaya sebagai blogger nubi beruntung sekali bisa ikutan rangkaian webinarnya. Hampir seluruh materi ikut. Semuanya keren-keren. Terima kasih juga Kak Joe sudah sharing soal bikin video di webinar.
HapusMakasih banyak informasinya.. sangat bermanfaat karena saya suka membuat review produk (walaupun nggak dibayar) tapi kayaknya tulisannya kalau nggak garing kayak kerupuk, jadi pedes atau kecut kayak rujak....heheherupanya ada juga ilmunya ya
BalasHapusSaya juga suka bikin review tanpa dibayar kok, apalagi review makan-makan dan film. Wkwkwk. Syukur-syukur nanti ada yang melirik dan berujung dibayar. Amiiiin.
HapusIya nih saya sangat menghindari banget kalau review produk apalagi makanan atau obat-an yang tidak pernah dicoba, sebisa mungkin saya coba terlebih dahulu biar meyakinkan, sayang sekali saya gak ikutan webinarnya padahal topiknya sangat menarik ya
BalasHapusIya betul sekali. Sekarang saya kalau bikin review selalu mengupayakan ada pengalamannya dulu biar tulisannya kaya. Enggak garing kayak kerupuk. Kerupuk enaknya dimakan sama kecap. :D
HapusYeayy Mbak Nieke sudah TLD blognya, kereen.
BalasHapusMbak Nieke akan jadi reviewer ulung. Berbekal cara menulis wartawan dan pengalaman mengikuti kelas seperti yang diadakan IIDN ini, in syaa Allah bakal keren hasilnya.
Tadi nyaris ngikik di bagian ini
Jangan membayangkan sesuatu yang ribet. Review tidak lebih rumit ketimbang status relationship di Facebook yang 'it's complicated'. Dan sudah pasti tidak serumit perasaan yang dikasih harapan dan perhatian, tapi tidak kunjung ditembak sama gebetan.
Hihi betul, gak usah mikir yang ribet. Memang sesuai dengan pengalaman masing2 saja dan terus belajar ...
Makaci Mbak Mugniar. Amiiin. Makaci doanya. Terima kasih juga Mbak Mugniar sudah berbagi ilmunya dalam salah satu materi webinar.
HapusBetul. Kalo review tanpa coba produknya, jadi kurang lengkap. Saya nulis review biasanya kalo betulan suka sama suatu tempat, buku, makanan atau film..atau emang lagi gabut bingung mau nulis apa? Wkwkkw.
BalasHapusSamaaaaaa. *tos*
HapusNah bener review produk baru ada nyawanya kalau berdasarkan self experience ..setuju pake banget soalnya kebaca di tulisannya. Kalo saya mending hindari deh kalo ada lomba tapi temanya review produk daripada pegel tangan dan garing tulisannya hehehe..
BalasHapusIya, betul banget. Sekarang saya juga mundur teratur kalau ada lomba review produk yang saya enggak punya produknya. Kayak ngawang-ngawang gitu.
HapusBegitu, ya. Jadi mending benar2 dari pengalaman kita sendiri tanpa perlu hard selling. Yang penting info produknya udah ditulis lengkap di review.
BalasHapusIya, saya pun baru paham setelah ikut webinar IIDN. Blogger nulis pengalaman, bukan jualan barang. Bagus banget materinya. Enggak rugi investasi waktu belajar.
HapusMenulis review secara runut dan runtut masih Saidah buat saya
BalasHapusBiasanya saya sih apa yg terlintas itu yg dibahas. Terimakasih nih Mbak susunan tata cara bikin review nya. Saya coba praktikkan
Webinar IIDN dan Indosat ini beneran kece badaaaiii!
BalasHapus(pe)materinya sangat profesional, maestro di bidangnya masing2 ya Mba
Duh, nampol banget Mba Nieke. Emang kudu begitu, ya. Self experience. Banyak belajar ini. Kalo info spesifikasi doang sih di laman pencarian ya bertaburan hahah
BalasHapusSatu kata buat artikel mbak Nieke.. keren..
BalasHapusDetail, bahasanya bagus sekali, membuat ga berasa membaca sampai habis, padahal panjang juga ini artikelnya.
Makasih banget, aku jadi membaca dengqn produkti pagi ini, mbak. Tulisannya sangat bermanfaat, inspiratif.
Kadang saya nulis review di blog meski enggak dibayar sama brand karena saya suka banget sama produk tersebut. Tetapi sayang memang saya belum terlalu ahli nulis review :( Perasaan kurang dalem gitu reviewnya. Mau ikutan belajar sama Mbak Wid, waktu itu waktunya bentrok dengan webinar yang lain, huhu sedih ketinggalan. :(
BalasHapusASyik.. ikutan lomba IIDN, smoga menang ya mba
BalasHapusKrn skr ini aku sdg sering2nya menulis review makanan, harus diperhatiin ini Do and Don'ts yg dilakuin :D. Blogku memang blm aku monetisasiin mba. Jd aku ga trima paid post ttg review2 yg aku tulis. Purely semuanya pengalaman sendiri mencicipi dan mencoba apapun saat traveling :).
BalasHapusKalo dulu aku menulis semua makanan yg menurutku enak atopun ga. Tp udh setahun ini aku LBH milih hanya makanan yg menurutku enak, yg aku review :D. Kalo menyangkut traveling, misalnya penginapan, hanya hotel yg menarik dan service bgs. Jd diluar itu aku ga akan tulis di blog.
Tapi apa yg aku tulis, aku jaga juga kok, supaya ga dianggab menjelek2an tanpa bukti :D. Bener tuh, kalo kita nulis reviewnya terlalu lebay, malah dianggab ntr tulisan kita ga bisa dipercaya :D.
Kalau belum mencoba produknya bisa disebut sebagai preview kali ya. Kalau saya sih lebih ke informatif. Jadi menjelaskan spesifikasinya tanpa menyebut saya yang merasakannya.
BalasHapusJika bentuk tulisan adalah review, memang sebaiknya berdasarkan pengalaman pribadi ya. Jadi lebih personal gitu nanti hasil tulisannya.
BalasHapus