Ternyata kita bisa mencegah perubahan iklim dengan pilihan pakaian kita. Sebab, sampah tekstil dampak emisinya sedahsyat bahan bakar fosil.
desain: Canva. |
Nunggu perempuan dandan itu bisa seribu tahun. Begitu kata teman-teman saya kalau bercanda. Ah, masa sih selebay itu?
Saya bercermin sendiri, kalau sekarang sih, persiapan keluar rumah menjadi lebih lama karena lebih pada menyiapkan protokol kenormalan baru seperti masker, sarung tangan, memastikan hand sanitizer dan desinfektan semprot di dalam tas. Bukan lantaran lamanya dandan dan memilih pakaian.
Lain halnya kalau ini berbicara tentang diri saya sebelum 2015. Pakaian seabrek di dalam lemari tapi bingung memilih yang mana. Tapi saya enggak pernah lho, mau pergi pesta terus bilang enggak punya baju, lalu beli baju baru. Godaan saya bukan di situ. Melainkan saat pergi ke mal semacam Plasa Semanggi Jakarta, lalu lewat atriumnya dan melihat stan pakaian obral Rp 100 ribu dapat tiga potong. Atau ke ITC dan Pasar Blok M, lalu melihat baju lucu-lucu dengan berbagai aneka mode yang harganya murah. Tidak heran, kalau lemari saya sampai penuh. Eh, sama aja ya?
Saya berupaya mengurangi isi lemari dengan cara memilah-milah pakaian yang sudah jarang saya pakai, sudah bosan, modelnya sudah tidak tren, atau kekecilan dengan cara menyumbangkannya ke panti asuhan atau yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Biasanya mereka menyalurkannya ke korban kebakaran di Jakarta, atau bencana alam di daerah. Berkurangkah pakaian dalam lemari saya? Hmm, lumayan, tapi tidak menghentikan kebiasaan saya yang cenderung lapar mata tatkala melihat kata ‘sale’ di mal-mal Jakarta.
Belakangan, saya mengenalnya dengan istilah fast fashion, yakni model pakaian yang berganti dalam kurun waktu singkat, biasanya memakai bahan yang kualitasnya tidak bagus, harganya murah, dan tak bertahan lama. Fast fashion adalah salah satu faktor terbesar polusi emisi rumah kaca penyebab perubahan iklim. Tren pakaian cepat ini menimbulkan limbah yang mencemari air, tanah, dan penghasil gas emisi rumah kaca. Siapa sangka, kemeja dengan kerah berombak dan berenda bergaya Korea, jaket mirip anggota grup K-Pop idola, rok dan celana yang sedang hip, ternyata polusinya bisa separah industri energi fosil seperti batu bara.
Desain: Canva |
Menurut Data Kementerian Lingkungan pada 2018, timbunan sampah di Indonesia sebanyak 65,79 ton, termasuk sampah tekstil. Yap, pakaian bisa menjadi sampah tekstil dan mencemari lingkungan, tergantung bagaimana proses pembuatannya dan bahan bakunya. Apakah pakaian itu terbuat dari bahan yang dapat terurai di alam, misalnya pakaian dari bahan polyester yang terbuat dari minyak bumi dan plastik. Jenis kain itu merupakan bahan serat kain sintetis. Atau pakaian itu mengandung pewarna sintetis yang berpotensi menurunkan kualitas air, tanah, dan udara. Bahkan bisa mencemari sungai, apabila industri pakaian itu tidak menjalankan pengelolaan limbah cairnya dengan baik. Ini juga bisa membahayakan kesehatan manusia.
Lantaran industri fast fashion, yang tren pakaiannya ibarat bunga yang tumbuh dan berganti tiap musim, konsumsi pakaian dunia malah diprediksi bisa mencapai 63 persen pada 2030. Yakni dari 63 juta menjadi 102 juta ton. The Sustainable Fashion Forum pernah menyatakan, industri mode secara global menjadi faktor penyebab sekitar 10 persen dari total emisi karbon dunia dan 20 persen limbah air dunia.
Menurut Natural Resources Defense Council, satu ton kain bahan celana dan kaos membutuhkan setidaknya 200 ton air untuk produksi. Produksi kain diperkirakan menggunakan 20 ribu bahan kimia. World Wildlife Fund (WWF) malah pernah bilang kalau bahan utama pakaian adalah air. Satu kaos diperkirakan butuh 2.700 liter air, dan itu tak tercantum dalam label pakaian. Mencengangkan bukan? Sementara itu buat kamu yang hobi memakai celana jeans, produksi satu pakaian jeans butuh 920 galon air, 400 mega joule energi, melepaskan 32 kilogram karbondioksida.
Industri fast fashion dengan tren mode pakaian yang cepat berganti pun membuat kita menumpuk pakaian dalam lemari. Ada pula yang berakhir di butik semacam garage sale, atau pasar-pasar dan toko daring (online shop) yang menjual pakaian bekas. Istilah anak zaman now, preloved.
Tak semua pakaian bekas beruntung 'diadopsi', ada yang malah dibuang begitu saja hingga menjadi timbunan sampah. Mau didaur ulang? Lantaran bahan pakaian terbuat dari sintetis dan bukan benang, biaya daur ulangnya tinggi. Produsen pakaian yang berpikir ala hukum ekonominya Adam Smith, tentu lebih memilih produksi baju baru yang biaya produksinya lebih murah.
Bukan Maria Kondo yang membuat saya memutuskan untuk diet pakaian sejak 2015. Tapi saat pindah kos di Jakarta dan harus memberesi pakaian-pakaian yang ternyata seabrek, membuat saya berpikir persoalan ini harus diakhiri. Saya menyortir kembali pakaian-pakaian saya, sebagian saya donasikan ke yayasan, sebagian lagi saya berikan ke ibu tukang cuci di kos, ada yang saya berikan ke mbak cleaning service di kantor, dan anak bapak tukang ojek langganan saya. Lumayan berkurang.
Saya berjanji pada diri sendiri untuk menahan diri membeli pakaian baru—kecuali benar-benar membutuhkan. Dan itu berhasil. Sejak 2015, saya tak pernah membeli pakaian baru. Tak pula tergoda pada godaan ‘sale’, bisa melewati jejeran pakaian dengan harga murah di bazaar, ITC, dan mal dengan santainya. Kalaupun ada kaos baru, biasanya oleh-oleh kerabat yang baru balik dari bepergian. Beruntung pula, saya punya ukuran tubuh yang segini-segini saja. Hasilnya? Wow, ternyata hal yang paling dirasakan adalah irit. Duitnya bisa dialihkan ke pos-pos kebutuhan hidup lain.
Sekitar 2007, muncul gerakan slow fashion sebagai antitesis dari fast fashion. Pencetusnya adalah Kate Fletcher yang mengusung konsep sustanaible fashion. Tren pakaian ini menggunakan bahan pakaian dengan kualitas baik, mengutamakan etika dengan menghargai upah buruh industri, dan tentu saja lebih ramah lingkungan. Mode tak berganti secepat fast fashion, sebab mereka menciptakan model pakaian yang lebih bertahan lama dan klasik. Dalam penjualan, mereka juga kerap mengkampanyekan tindakan-tindakan ramah lingkungan.
Saya justru baru tahu soal slow fashion beberapa tahun belakangan. Sebenarnya istilah itu sudah mondar-mandir di bacaan-bacaan saya, tapi saya baru menemukan pencerahan tatkala berhenti konsumsi baju baru dan beli hanya ketika benar-benar membutuhkan. Jadi buat teman-teman, jangan berhenti menulis tentang lingkungan. Mungkin pengetahuan itu tidak langsung nyantol seketika pada pembaca. Pengetahuan itu akan mengendap dan pada masanya akan berbuah tindakan. Seperti yang terjadi pada saya.
Ketika saya pindah dari kota Jakarta ke Surabaya, sekitar 2019, saya menemukan Yusiclovic, brand lokal dari UMKM yang telah menerapkan sustanaible fashion. Adalah Yusi Nurasri, warga Surabaya, yang mendesain dan membuat pakaian-pakaian dengan bahan-bahan yang lebih mudah diurai alam dan tahan lama, dengan model yang tak tergantung musim. Bahkan untuk pengemasan produknya, Yusi menggunakan tas dengan bahan kain sisa pakaian yang telah dijahit.
Keputusan Yusi terjun ke bisnis pakaian ramah lingkungan berawal dari pola hidupnya minimalis. Ia hanya menggunakan dan menyimpan barang-barang yang dianggap penting. Ia juga mengurangi membeli benda-benda secara konsumtif. "Jadi kalau hanya karena murah atau ingin sesaat, itu benar-benar saya hindari," ucap Yusi kepada saya, Kamis 27 Agustus 2020.
Yusi menuturkan, pola hidup minimalis bersinergi dengan isu ramah lingkungan. Ketika seseorang menghindari membeli produk-produk hanya karena ingin, sebenarnya ia keluar dari lingkaran 'setan' fast fashion. Pakaian dari industri fast fashion harganya memang murah, tapi di balik itu ada upah karyawan yang tidak layak dan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan. Dengan keluar dari lingkaran fast fashion, seseorang juga berkontribusi dalam mengurangi sampah tekstil berikut pengemasan produknya.
"Kalau kita beli barang meskipun kecil, packagingnya sudah berlapis-lapis. Bayangkan satu orang beli sampahnya segitu, bagaimana dengan orang banyak, seberapa banyak sampahnya?" Yusi berkomentar.
Pengemasan produk pakaian Yusiclovic, brand lokal sustanaible fashion memakai kertas daur ulang. Foto: Yusi Nurasri (atas seizin pemiliknya) |
Dari keresahan-keresahan itulah, Yusi kemudian berupaya memproduksi dan menjual pakaian yang minim risikonya dalam menyebabkan kerusakan lingkungan. Ia berusaha memakai bahan baku yang ramah lingkungan dan memproduksi dalam jumlah sedikit, sesuai dengan kebutuhan. Dia juga berharap produk pakaiannya punya nilai ikatan dengan pembelinya, sehingga dirawat sampai benar-benar tidak bisa dipakai. "Selain berjualan, saya ingin ada movement isu lingkungan," ucapnya.
Untuk memperkenalkan sustanainable fashion atau tren pakaian berkelanjutan, Yusi dan teman-temannya yang memiliki produk ramah lingkungan biasanya bekerja sama dengan influencer dan orang-orang yang memiliki keresahan soal lingkungan. "Supaya penyebaran pesannya tersampaikan dan ada double impact," ujarnya.
Yusi berujar, masyarakat kini sudah mulai memperhatikan isu lingkungan, termasuk pemanasan global. Ia mengaku banyak bertemu dengan orang-orang yang peduli bagaimana cara hemat energi, mengurangi sampah bahkan berupaya hidup nol sampah. "Hanya saja karena slow fashion, tak semudah itu memperkenalkannya kepada orang-orang yang terlanjur terjebak dalam fast fashion," katanya.
Yusi Nurasri mendesain sustanaible fashion dengan brand, Yusiclovic. Kredit foto: Yusi Nurasri (atas seizin pemiliknya) |
"Lebih ke yuk, sharing yuk, sejauh mana peduli dengan lingkungan. Kalau saya dimulai dari apa yang saya pakai, konsumsi, dan simpan," ia menuturkan.
Salah satu tantangan dalam menjalankan bisnis ramah lingkungan adalah permintaan klien. Suatu ketika ada seseorang yang minta dibuatkan seragam untuk kantornya. Tentu ini peluang bisnis yang sangat bagus. Namun, ternyata seragam tersebut dibuat dan dikenakan untuk acara-acara tertentu saja, sehingga memerlukan produksi secara terus-menerus. Hal ini bertentangan dengan idealisme Yusi dalam kontribusinya ingin menjaga lingkungan.
"Konsep saya, produksinya ramah lingkungan dan sesuai kebutuhan saja," kata Yusi.
Di situ Yusi merasa tertantang konsistensinya dalam menjalani etika bisnis ramah lingkungan. Ia mempertimbangkan, apabila memproduksi secara terus-menerus, meski bahannya ramah lingkungan, namun ada kebun dan lahan tanaman yang terbabat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal kebun yang memasok bahan baku pakaian tersebut sudah dirawat berbulan-bulan. Akhirnya Yusi mengambil jalan tengah, yakni hanya memproduksi seragam untuk satu acara saja.
Di masa pandemi Covid-19, Yusi tengah menyiapkan inovasi baru untuk produk pakaiannya. Yakni berupa paket new normal kit, di antaranya masker dan sarung tangan. Untuk produk tersebut, Yusi bertekad menggunakan bahan baku yang dapat terurai lingkungan. "Sarung tangan ini agar bisa dipakai berkelanjutan, oleh orang yang biasanya mengenakan sarung tangan plastik sekali pakai," ujarnya.
Menjalani etika bisnis dengan berpegang pada konsep ramah lingkungan di tengah serbuan fast fashion seperti masa sekarang memang tak mudah. Namun bukan tidak mungkin. Saya teringat Anita Roddick, pendiri Body Shop yang juga menjalankan bisnisnya dengan idealisme ramah lingkungan, mendukung komunitas setempat, dan memperhatikan kesejahteraan buruh.
Pada masa kepemimpinan bisnis kosmetik yang menggunakan bahan alami dan ramah lingkungan itu dipegang oleh Anita Roddick, jaringan tokonya menggurita di seluruh dunia. Berdiri pada 1976, ia memiliki toko hingga 2.400 unit di 61 negara termasuk Indonesia.
Saya pernah bertemu Anita Roddick saat ia ke Indonesia pada 2006 di sebuah hotel di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta. Di dalam acara pertemuan itu, ada beberapa pengusaha-pengusaha Indonesia lainnya. Anita Roddick menjadi salah satu keynote speaker atau pembicara di samping pejabat dari kementerian di dalam acara tersebut. Saya hadir dalam kapasitas disuruh redaktur, alias waktu masih menjadi jurnalis. Pertemuan selintas namun mengesankan.
Anita Roddick memang bukan sekadar pengusaha sukses, tapi juga aktivis yang menyuarakan isu lingkungan, perempuan, dan kemanusiaan. Kehadirannya ke Indonesia kala itu, salah satunya untuk mengantar bantuan secara langsung ke Aceh. Anita Roddick juga memperkenalkan buku autobiografinya, Business as Unusual (2006), yang mengisahkan upayanya menjalankan bisnis sekaligus membuat dampak positif bagi kehidupan dan lingkungan. Dalam buku itu, ia juga menceritakan upayanya menjadi mitra dalam pemberdayaan komunitas dan masyarakat adat.
Isu pemanasan global dan perubahan iklim adalah hal nyata yang kita sekarang rasakan dan hadapi. Dua tahun lalu, suhu bumi sudah meningkat 1,5 derajat Celcius menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) pada 2018. PBB juga memperingatkan apa yang bisa terjadi pada akhir abad ini, apabila manusia terus melakukan kerusakan lingkungan. Yakni perkiraan kenaikan suhu global lebih dari 3 derajat Celcius. Kalau sekarang saja, musim kemarau sudah sepanas ini, tak terbayang panasnya dengan kenaikan lebih dari 3 derajat Celcius, bukan?
Pemanasan global yang terjadi saat ini telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim, yakni musim kemarau yang sangat panjang dengan tingkat panas luar biasa, serta musim hujan yang pendek dengan curah hujan yang luar biasa tinggi. Kacaunya musim menyebabkan para petani kebingungan menentukan masa tanam, yang mengakibatkan gagal panen. Otomatis, lumbung-lumbung pertanian yang memasok pangan rakyat terganggu.
Begitupun dengan hutan-hutan yang mudah terbakar pada musim kemarau panjang. Selain akibat cuaca, hutan juga banyak yang mengalami perubahan peruntukan lahan karena ulah manusia, sehingga mengancam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Padahal, hutan adalah pemasok terbesar oksigen bagi kita.
Widyanti Yuliandari, narablog, Ketua Umum Komunitas Blogger Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN) berpendapat, isu perubahan iklim lebih gampang diterima masyarakat pada masa sekarang. Sebab, dampaknya sudah terlihat nyata. Mulai dari krisis air, problem sampah, pembuangan limbah, hingga kualitas air sungai.
"Sekarang semua sudah mulai melihat bahwa ini adalah real issue. Semua bisa merasakan," kata Widyanti, dalam acara Webinar KBR berjudul Suara Kita tentang Perubahan Iklim, Jumat 14 Agustus 2020. Menurutnya, semua orang bisa terlibat menyuarakan menjaga lingkungan dan mencegah perubahan iklim, siapapun dia.
Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Indonesia mengatakan permasalahan sampah--terutama sampah plastik--tak bisa hanya diatasi dengan imbauan tidak menggunakan kantong kresek. Soalnya, hampir semua produk yang dikonsumsi masyarakat menggunakan kemasan yang juga terbuat dari plastik. Jadi terkesan percuma membawa pulang barang belanjaan tanpa kantong kresek, padahal kemasan produknya dari bahan plastik atau bahkan bahan tak terurai lingkungan. Itu sebabnya, menurut dia, perlu ada kebijakan dan sistem pengelolaan sampah yang baik.
"Perilaku kita dalam memproduksi dan mengolah sampah, itu sangat perlu dikampanyekan," kata Mubariq dalam acara Webinar KBR bertema Suara Kita tentang Perubahan Iklim, Jumat 14 Agustus 2020.
Mubariq Ahmad saat diwawancarai Don Brady dari KBR dalam acara Webinar KBR bertema Suara Kita tentang Perubahan Iklim, Jumat 14 Agustus 2020. Foto: screenshot dari Youtube Berita KBR. |
Davina Veronica, pegiat lingkungan dan perlindungan satwa berpendapat senada ihwal permasalahan sampah, terutama sampah rumah tangga. Menurutnya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dijalani sebagian warga Indonesia kala menghadapi pandemi Covid-19, ternyata tidak mengurangi volume sampah.
"Kegiatan di rumah juga berdampak lingkungan luar biasa," katanya, dalam Webinar KBR bertajuk Suara Kita tentang Perubahan Iklim, Jumat 14 Agustus 2020.
Itu sebabnya, Davina mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi produk-produk ramah lingkungan. Begitupun pelaku usaha, Davina mengajak untuk memproduksi barang-barang yang ramah lingkungan.
Omong-omong, kita pun bisa lho, terlibat mencegah perubahan iklim. Tak usah muluk-muluk, mengurangi sampah adalah hal paling mudah yang bisa kita praktekkan sekarang. Yuk, mulai bawa tumbler dan sedotan stainless atau kayu tiap bepergian. Hindari memakai tisue yang cuma bisa sekali pakai, ganti dengan kain. Mulai bercocok tanam di pekarangan untuk menambah lahan terbuka hijau sekaligus memperbaiki kualitas oksigen yang kita hirup. Ide-ide lainnya untuk mencegah perubahan iklim, bisa intip di sini.
Tak hanya sampah plastik, mari mengurangi sampah tekstil dengan memilih pakaian berkelanjutan ketimbang fast fashion. Apakah memilih pakaian slow fashion, sustanaible fashion hanya ajakan untuk kaum perempuan? No way, Jose. Banyak juga kok, lelaki yang hobi mengoleksi pakaian. Imbauan ini berlaku untuk kita semua.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
***
Nieke Indrietta
Baca juga tulisan saya soal kuliner dan traveling di sini.
Kalau pengen kepo soal review film dan drama Korea, klik ini.
Keren banget mb, sy br tau ada fast fashion dan impactny utk lingkungan, jd sadar kalo ganti2 fashion dgn cheap material itu ngejahatin lingkungan, keep writing mb
BalasHapusBertambah lagi wawasan saya dengan istilah fast dan slow fashion, dulu pas masih bekerja dan belum menikah setiap gajian beli baju alhasil baju menumpuk dan jarang dipake mubazir banget, jadi menyesal kenapa uang itu gak saya belanjakan saja utk hal yang lebih bermanfaat
BalasHapussetuju banget salah satu yang bisa kita lakukan untuk peduli terhadap lingkungan adalah cara pemilihan pakaian, dengan menggunakan bahan yang ramah lingkungan atau sustain dalam jangka waktu yang panjang
BalasHapusDari dulu sebenernya saya bukan orang yang suka gonta ganti fashion.. pilihnya yang klasik aja karena lebih irit biaya.. kadang kalau sempet ditambah atau di 'mix and match' aja.. menarik ya kalau wacana ini diperluas bukan hanya fashion tapi juga yang lainnya.. syukur deh gerakan ini makin meluas.. makasih infonya
BalasHapusSaya bulan lalu beli celana panjang murah hanya 35 ribu rupiah, bahannya ringan. Tapi ternyata jahitan tengahnya malah robek setelah baru 2 atau 3 kali pemakaian. Artinya, mending sekarang teliti membeli Baju mahalan dikit lebih baik jika bahannya jelas dari katun asli bukan lainnya yang sintetis dan jahitan kuat. Soalnya yang katun lebih tahan lama dan nyaman dipakai.
BalasHapusBagi orang yang tidak peduli mode dan tren berbusana maupun fashion lainnya,yang saya pentingkan adalah harga. Tapi ternyata harga juga harus melihat bahan dan kualitasnya demi ketahanan ke depan.
Saya pernah terjebak fast fasjion beli celana panjang hitam dari bahan bukan katun dan ngejreng kayak rocker ternyata tidak pantas meski pantas dikenakan orang lain. Jadinya terbuang percuma. Itu tahun 2000. Sayanya tidak sadar bahwa celana itu kayak rocker gara-gara terlihat bagus saja, hi hi.
Positifnya jadi lebih hati-hati beli busana. Kejadian kemarin juga mending saya beli celana yang di toko bukan obralan agar bebas memilih yang bahannya bagus tetapi tahan lama. Uang itu harusnya untuk jangka panjang. Jangan beli bahan yang murahan karena cepat rusak dan paling jadi lap. Itu pemborosan ganda, bagi keuangan pribadi dan lingkungan sebagai bentuk mubazir yang harus dihindari.
Ahh, untunglah aku kagak demen beli baju :D
BalasHapusTapi ya kadang kelabakan misal ada undangan event offline dgn dress code tertentu.
Biasanya solusinya PINJEM BAJU IBU MERTUAAAA :D
kalo gitu, beklaahh mari semangaattt menjaga kelestarian planet bumI!
Hebat Mbak sudah diet pakaian sejak 2015. Saya meski bukan pengikut fashion baru beneran sadar diri saat pandemi ini. Mulai menerapkan decluttering untuk semua barang, enggak bebelian dan lainnya. Setuju jika sustainable fashion bisa jadi solusi kelestarian bumi. Semoga sosialisasi seperti ini makin menggerakkan banyak orang untuk peduli menyanyangi bumi
BalasHapusBener nih, belanja fashion yang tidak menuruti tren saat ini bisa jadi penyelamat buat beberapa tahun ke depan, kecuali kasus bajunya sudah kekecilan atau udah mblekutak ya warnanya.
BalasHapusBermanfaat sekali ini artikel'y untuk refleksi diri supaya tidak melulu ikut2an tren beli pakaian tiap musim. Ya mending tiap musim, ini tiap abis gajian beli baju 😅 kacaw~
BalasHapusTernyata dari pakaian yang kita pakai pun ikut andil dalam memberikan efek terhadap pemanasan global ya mbak. Saya juga tipe yang kurang suka menumpuk pakaian, bingung setelah rusak mau di taruh mana. Keren nih idenya membuat pakaian yang bahannya ramah lingkungan.
BalasHapusIni harus mulai disosialisasikan juga nih mba, kebutuhan masyarakat terhadap pakaian juga bisa banget emang jadi penyumbang limbah, ga cuma pada saat pembuatannya tapi juga karena sampahnya juga. Tapi saya baru tau juga istilah fast fashion versus sustainable fashion ini.
BalasHapussejak punya bayi, saya benar-benar menyortir pakaian mana yang sering dipakai, mana yang tidak. Sampai lemari benar-benar kosong hehe, pun untuk baju si kecil, enggak apa deh minimalis kalau itu demi kebaikan bumi kita tercinta ini ya mbak.
BalasHapusBaru tau tentang fast fashion dan slow fashion. Duh sedih ngebayangin limbah2 dari pabrik2 fast fashion itu.. aku juga lagi belajar menahan diri dari godaan baju. Rajin2 aja cek lemari, ciba mix n match baju yang ada...
BalasHapusADa banyak cara ut peduli lingkungan ya. Dari pemilihan pakaian saja kita sudah bisa berkontribusi untuk kelestarian alam.
BalasHapusnice post mba
Aku juga skrg udh jarang beli baju aplagi semenjak punya anak..rasanya gamis berwarna netral udh cukup tinggal kerudungnya aja bbrp pola wkwk. Tapi fashion ramah lingkungan itu apa cm packaging mbak?
BalasHapusMbak nieke tulisannya secara tidak langsung menampar diri saya ini, huhuhu. Pakaian iya saya masih membuang pakain yang tidak pantas lagi dipakai, kadang habis buat lap kompor atau keset, sudah usang lalu saya buang. Anyway saya tertarik untuk kepo lebih lanjut yusiclovic mbak, duh bisa segitu kerennya memberikan dampak buat lingkungan
BalasHapusSetuju Mba, setiap orang bisa berperan dalam mencegah perubahan iklim. Saya baru tau nih istilah fast fashion dan slow fashion, jadi merasa diingatkan untuk beres-beres baju yang sudah tidak terpakai. Sekarang saya pun sedang berusaha membeli baju dikala memang benar-benar butuh, apalagi sekarang kita seringnya di rumah aja ya Mba.
BalasHapusBerhubung aku bukan orang yang selalu ngikutin trend fashion, jadinya kalo beli baju aku pilih yang nyaman dan bisa di mix and match biar bisa dipake lama. Trus tinggal perawatannya yang hati-hati biar awet,hehe. Terbukti sih aku sampe pernah 6 bulan ga beli baju baru sama sekali.
BalasHapusSaya baru-baru saja mendengar tentang slow dan fast fashion ini. Ternyata beruntung juga bagi orang seperti saya yang nggak fashion holic yaa.. baju2 awet aja sampai bertahun-tahun.. kalau belum bolong atau koyak belum beli lagi hehe. Tapi nyari desainer yang mengemas baju ramah lingkungan begini belum nemu sih. Patut dicontoh sama semua desainer.
BalasHapusBaru tahu aku mbak, wah jadi pilihan pakaian pun bisa menjadi langkah kita dalam mencegah perubahan iklim
BalasHapusGa kepikiran selama ini kalau apa yg kita pakai juga berdampak besar pada kerusakan lingkungan ya.
BalasHapusKalau ada yg sudah tidak dipakai, sukanya dibuat lap sampai habis...
Untungnya gak ikut-ikutan fast fashion. Baju gak ganti kalau gak robek. Apa lagi daster. Udah lepas jahitan kanan kiri, masih dijahit lagi. Tapi banyak juga yang ngikutin tren. Gak model baru, gak PD. Padahal esensinya sih, tutup aurat kalau aku.
BalasHapusBemanfaat mba, sy sjk masa pandemi ini ga pernah lagi beli pakaian. hehehe soalnya syaang mau d pake kemana wong kebanyakan d rmh saja. byk yg nawarin tp sy tolak
BalasHapus