Film Kim Ji-young jadi kontraversial di Korea karena dianggap menyuarakan feminisme, sementara Korea budaya patriarkinya masih sangat kuat.
Beberapa waktu lalu, Ssaem--panggilan akrab untuk guru dalam bahasa Korea--bertanya kepada seisi kelas. "Kalian sudah ada yang menonton Kim Ji-young?"
Kebanyakan menjawab belum menonton. Hanya saya dan Ssaem yang sudah. Saya nonton film itu beberapa hari setelah tayang di bioskop. Langsung saya buru soalnya takut keburu turun dari layar. Ssaem kemudian bercerita, film itu soal perempuan bernama Kim Ji-young yang lahir 1982, bagaimana ia mengalami diskriminasi sebagai perempuan di tempat bekerjanya terutama setelah ia hamil. Ji-young terpaksa berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Padahal ia punya impian soal karirnya.
"Film ini jadi kontraversial di Korea karena dianggap menyuarakan feminisme, sementara Korea budaya patriarkinya masih sangat kuat," kata Ssaem.
Beberapa artis Korea yang menyatakan dukungannya atas film ini juga diserang netizen setempat lantaran alasan yang sama. Irene Red Velvet misalnya, yang dihujat netizen Korea lantaran mengunggah tulisan soal buku novel Kim Ji-young di media sosialnya. Film Kim Ji-young memang diangkat dari novel berjudul sama karya Cho Nam-ju yang dirilis Oktober 2016. Dalam film, Gong Yoo menjadi Dae-hyun suami Kim Ji-young, yang diperankan Jung Yu-mi.
*
Kelelahan tampak begitu nyata di wajah Kim Ji-young ketika ia mengerjakan semua pekerjaan domestik rumah sambil mengurus bayinya berusia sekitar dua tahun. Rambutnya dicepol, berpakaian seadanya, mengenakan celemek. Meski Kim Ji-young terlihat cantik tanpa riasan wajah, tapi raut muka kelelahan itu tak bisa disembunyikan.
Suatu pagi, Ji-young berbelanja keperluan memasak di toko dekat rumahnya. Ia melihat seorang perempuan dengan busana kerja profesional melangkah melintasi jalan dengan percaya diri. Ji-young memandanginya, teringat masa-masa sebelum ia menikah.
Kim Ji-young sebelum menikah adalah seorang perempuan yang menikmati karirnya di dunia pemasaran. Dunia yang dominan laki-laki di kantornya. Ia mengidolakan atasannya yang perempuan, seorang wanita dengan karakter tangan besi dan tak gentar ketika menghadapi lelucon bernada pelecehan dari rekan prianya.
"Saya ingin menjadi seperti Anda," ucap Ji-young suatu ketika saat di ruangan bosnya itu.
"Apakah kamu melihat saya tampak bahagia dengan keadaan ini?"
Ji-young mengiyakan.
"Tahukah kamu, apa yang saya korbankan atas hal ini? Saya dicap sebagai istri dan ibu yang buruk bagi suami dan anak saya oleh orang-orang sekitar saya. Kamu masih ingin menjadi seperti saya?"
"Ya. Saya yakin jika saya mencapai seperti Anda, saya tetap bisa membagi waktu saya bersama keluarga saya," jawab Ji-young.
Sekelebat percakapan dengan alur di masa lalu itu memperlihatkan impian Ji-young yang hilang setelah dia terpaksa berhenti kerja lantaran hamil. Ji-young berupaya mengambil titik kompromi dengan cara bekerja sebagai kasir di sebuah toko roti dekat rumahnya. Namun kala ia menyampaikan niat itu ke suaminya, ditolak dengan alasan siapa bakal mengurus sang anak. Suaminya juga balik bertanya, apakah Ji-young ingin bekerja kembali lantaran gaji sang suami kurang.
"Ini hanya kerja part-time," ucap Ji-young memelas.
Respon suaminya, Dae-hyun membuat Ji-young dongkol. Lantas ia mengunci diri di kamar. Dae-hyun tertidur di sofa ruang tengah. Tengah malam Dae-hyun terbangun dan mendapati Ji-young duduk di meja sambil menggenggam sekaleng bir.
"Kamu tidak pernah minum bir sebelumnya, ada apa?" Dae-hyun menghampiri dan duduk di hadapannya. Ia mengira Ji-young minum bir lantaran marah padanya. Namun, tiba-tiba Ji-young berbicara seperti orang lain--orang asing. Seolah identitasnya bukan Ji-young.
"Ucapkanlah terima kasih pada hal-hal kecil yang telah Ji-young lakukan untukmu dan di rumah. Itu akan sangat berarti untuknya," kata Ji-young dengan tatapan mata tajam.
Baca juga: Film Korea Tak Cuma Drama Romantis, Ini Rekomendasi yang Wajib Ditonton
Dae-hyun tersentak. Menyadari orang yang berbicara di hadapannya 'bukan' Ji-young. Keesokan paginya, Ji-young telah normal kembali dan malah menanyakan kenapa ada kaleng bir di samping meja kasurnya. Ji-young tak ingat sama sekali apa yang terjadi dengan dirinya. Kim Ji-young tak menyadari ia mengalami krisis identitas diri lantaran tak bisa aktualisasi dirinya.
Dae-hyun lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya melalui mesin pencari di internet. Ia juga menemui psikolog yang menyatakan kemungkinan istrinya mengalami depresi pasca-melahirkan dan faktor tekanan lainnya. "Dia harus menemuiku," kata psikolog itu.
*
Patriarki tak hanya soal bagaimana laki-laki menempatkan perempuan, sebab perempuan pun bisa bersikap patriarki pada sesama perempuan.
Gong Yoo dan Jung Yu-mi kembali bermain bersama di Kim Ji-young Born 1982. Sebelumnya mereka tampil di Train to Busan. Foto dari IMDB |
Film Kim Ji-young memang berbicara soal feminisme. Ia menuturkan perempuan yang kerap mengorbankan mimpinya, perempuan yang kehilangan jati dirinya setelah menikah, perempuan yang mengalami diskriminasi dan pelecehan seksual di tempat kerja. Serta perempuan yang mengalami depresi karena tekanan sosial-budaya seperti mesti tuntutan memiliki anak laki-laki dalam keluarga, mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, dan patriarki.
Patriarki tak hanya soal bagaimana laki-laki menempatkan perempuan, sebab perempuan pun bisa bersikap patriarki pada sesama perempuan. Dalam film ini, perempuan patriarki itu tergambar melalui tokoh mertua Kim Ji-young.
Film ini seperti halnya film Korea lainnya bermain dengan alur maju-mundur. Bukankah itu memang ciri khas film dan drama Korea? Bedanya, Kim Ji-young tak menyajikan drama dengan kisah cinta lovey-dovey. Ia menampilkan realita apa yang terjadi dalam sebuah pernikahan: konflik dengan keluarga kandung dan mertua, perbedaan pendapat suami-istri dan bagaimana mereka berupaya menyelesaikannya, ibu rumah tangga yang depresi pasca-melahirkan.
Patriarki pun tampak di dunia kerja. Ketika pria lebih cepat dipromosikan daripada perempuan meski mereka memiliki kemampuan yang sama. Perempuan yang membawa anak ke tempat kerja dipandang rendah dan merepotkan. Hingga masalah cuti melahirkan untuk pria dan wanita. Pria akan dipandang rendah jika ambil opsi itu. Meski yang ditampilkan adalah tantangan sosial-budaya di Korea, bukankah di Indonesia pun mengalami hal yang sama?
Baca juga: My ID is Gangnam Beauty: Antara Kecantikan, Jati Diri, dan Operasi Plastik
Itu sebabnya, saya merekomendasikan film ini perlu ditonton para perempuan. Jangan terjebak mimpi-mimpi palsu drama dan film romansa Korea. Ketika saya menonton film ini di bioskop CGV (ya, ini hanya tayang di jaringan CGV), saya mendengar isak penonton perempuan di samping saya. Ketika film berakhir, saya menoleh. Ia wanita separuh baya.
Laki-laki perlu menonton film ini? Ya jelas. Agar mengalami pencerahan, hahaha. Ya paling, pria yang patriarki banget akan merasa tertampar dan bereaksi seperti netizen pria Korea.
Ada dialog lain yang menarik antara Gong Yoo dan Jung Yu-mi. Kala itu, akhirnya Dae-hyun memberi izin Ji-young bekerja. Ji-young berusaha mencari pengasuh anak, namun tidak berhasil mendapatkannya. Dae-hyun mencoba menghiburnya. Ji-young menyerah dengan pekerjaan baru yang belum dimulainya.
"Beristirahat saja, di rumah saja tidak apa-apa. Kamu bersama anak kita," kata Dae-hyun.
Rupanya kalimat ini menyulut emosi Ji-young. "Kamu pikir menjadi ibu rumah tangga itu pengangguran? Menjadi ibu rumah tangga itu tidak mengerjakan apapun di rumah?" katanya dengan nada tinggi.
Adegan ini seperti mengkritik halus argumen yang kerap terjadi antara perempuan. Ibu rumah tangga menyalahkan perempuan bekerja dengan alasan mengabaikan keluarga (pandangan patriarki), demikian pula sebaliknya.
Kita tak bisa terjebak pada stigma penghakiman bahwa perempuan bekerja mengabaikan anak. Hal itu juga bisa terjadi pada ibu rumah tangga. Pun demikian, ibu rumah tangga bukan berarti tidak melakukan apapun di rumahnya. Atau mempertanyakan gelar sarjananya ketika ia memilih mengasuh anaknya.
Wahai perempuan, apapun yang kamu pilih: bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, keduanya sama baiknya. Sama berharganya.
*
Film Kim Ji-young juga menyuarakan pentingnya soal kesehatan mental. Ada dialog menarik antara Ji-young dengan atasan perempuannya. Kala itu Ji-young yang telah lama berhenti kerja hendak ditarik mantan atasan perempuan yang mendirikan perusahaan sendiri.
"Saya tidak bisa bekerja dengan Anda," ucap Ji-young sedih.
"Lho, kenapa?"
"Saya sedang menemui psikolog," jawabnya.
"Lantas kenapa? Semua orang di masa seperti ini memang memerlukan psikolog."
Lihatlah jawabannya. Dialog ini menyiratkan bahwa masalah kesehatan mental adalah hal penting dan bukan tabu. Menemui psikolog tak berarti gila. Selama ini stigma yang melekat sebaliknya. Tak heran, orang yang depresi enggan menemui psikolog.
*
Di pengujung waktu kelas bahasa Korea, Ssaem bertanya kepada kami.
"Siapa ingin ke Korea?"
Semua angkat tangan. Termasuk saya, yang sudah pernah sekali mengunjungi Seoul dalam rangka dinas kerja di kantor lama saya.
"Ada yang ingin punya pacar orang Korea?" tanya Ssaem lagi.
Semua orang angkat tangan, kecuali saya.
Yhaaa, budaya patriarki di Korea sana lebih ketat daripada Indonesia. Cowok Indonesia saja banyak yang alergi dengan pandangan soal kesetaraan gender, boro-boro cowok Korea. Saya cukup mengagumi oppa-oppa saja.
***
Nieke Indrietta
Ikuti saya di Instagram: @katanieke_blog
Artikel tentang film lainnya bisa KLIK DI SINI.
Saya awam soal film Korea ini, taunya film train to Busan dan the flu hehe.., itu juga gara2 pandemi korona seneng nonton film the flu. Yang saya tau setiap Drakor bisa menghipnotis para penggemarnya dengan kisah percintaan. Tapi uniknya, selalu menyelipkan pesan moral, seperti film ini soal kesehatan mental dan ada juga film Korea lainnya dengan pesan moral bagaimana kegigihan membangun bisnis yang baru dirintis saat pandemi seperti ini atau seperti the flu bagaimana karakter manusia yang sesungguhnya terlihat saat diuji dengan wabah yang serupa korona
BalasHapusMasalah partiarki emang selalu menjadi topik yang nggak habis habisnya ya.. tapi di Indonesia ada juga paham martiarti di Sumatra yang sebetulnya juga mengundang masalah.. jadi 2 sisi ini memang selalu mengundang pro dan kontra.. jalan tengahnya adalah bagaimana memperlakukan kdua pihak sebagaimana mestinya sesuai dengan fitrahnya
BalasHapusSaya sudah nonton film ini mba dan mewek pas bagian kim ji young marah2 kayak orang stress trus ibunya nangis, merasa relate banget sama sebagian hidupnya yg berakhir jadi irt, untungnya punya suami yg pengertian jadi senang liat endingnya :)
BalasHapusbetul sekali mba Nieke, saya punya teman orang Korea cowok dan cewek , mereka sering bercerita dan ternyata memang budaya patriarkinya sangat kental, lebih kental dari beberapa daerah di Indonesia, buat orang yang mengenyam kesetaraan gender seperti saya, sepertinya tidak memungkinkan memiliki pasangan orang sana
BalasHapuswah sealiran nih kita mba hahahha. Film ini berkesan banget si memang. Mental Illness itu gak main-main emang. Orang terdekatlah yang memang harus benar-benar support.
BalasHapusSangat menarik review film ini. Gambaran keluarga yang hidup di perkotaan dengan beragam stress yang ada. Pendidikan di sekolah sangat jarang menyinggung mengenai kesehatan mental, contohnya saja guru BK di Indonesia kebanyakan identik dengan siswa nakal. Ataupun orang ke psikiater hanya untuk syarat mengambil studi atau bekerja. Dari review film ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa psikiater itu sama seperti halnya dokter yang biasa dikunjungi oleh pasiennya.
BalasHapusSalah baca tadi judulnya kirain kim jong un. Wkwkwk. Maafkan sy yg awam film dan artis Korea ini. Tp klo tema film feminisme biasanya mmg menarik ya
BalasHapus