Kita belajar hal yang terbaik saat
kita mengalami keadaan yang terburuk.
Aroma teh melati
merebak di udara. Aku dan temanku sedang bercakap-cakap hingga dini hari.
Dia
menceritakan mengenai pekerjaan baru yang telah dijalaninya beberapa bulan. Di
tempat yang lama, dia ditekan dan difitnah oleh atasannya. Lalu dipaksa
mengundurkan diri. Gaji beberapa bulan pun tak dibayarkan. Kini dia sedang
mereguk manisnya kehidupan. Menjadi orang kepercayaan atasan. Menerima gaji dua
kali lipat dari sebelumnya. Tapi bukan berarti sekarang tak ada tantangan.
“Memimpin 30
orang itu dengan berbagai karakter ternyata tak gampang ya,” ujarnya.
Aku
tersenyum. Iya. Betul sekali.
“Untuk apa
kita mendengarkan dia?” Temanku menirukan kalimat bawahannya. Dia terbawa
emosi. Menuding sang bawahan lalu menariknya ke ruangannya. Di sana ia memaki
bawahannya.
Beberapa hari kemudian, Tuhan berbisik lembut ke dalam
hatinya. Tepat saat ia tengah memimpin rapat.
“Minta maaf
pada bawahanmu.”
“Tapi bukan
aku yang salah.” Temanku berbantah dalam hatinya.
“Tapi kamu
memakinya. Itu membuatnya makin terluka.”
Melawan
gengsi. Melawan amarah. Meruntuhkan angkuh. Apalagi ada atasannya dalam rapat itu. Ia
menaklukkan emosinya. Temanku menatap bawahan yang melawannya di pengujung rapat. “Saya
minta maaf padamu. Seharusnya saya tidak memakimu. Saya terbawa emosi.”
Tanpa
disangka. Sang bawahan yang memberontak meneteskan airmatanya. Sejak itu
hatinya menjadi lembut dan mudah dibimbing. Atasan temanku menatapnya bangga. “You are doing great. It’s not easy for a
leader to say poligize,” sang atasan memujinya.
Apa yang
kamu pelajari dari ini? tanyaku padanya.
“Dari
pengalaman diperlakukan dengan buruk oleh atasanku yang sebelumnya, aku belajar
untuk tidak memperlakukan bawahanku sama seperti aku diperlakukan,” dia
menjawab. Kalimatnya mengutip apa yang pernah kuucapkan padanya kala ia masih
mengalami fase-fase sulitnya.
Kisah
temanku mengingatkanku pula pada kejadian yang terjadi belakangan. Akupun punya
kisah tentang maaf.
Beberapa
waktu lalu, sebuah kejadian yang tidak mengenakkan menimpa seorang kawan yang lain. Kawan
ini dituduh melakukan sesuatu yang ia tidak lakukan. Dan kebetulan, aku pernah
mengalami kejadian yang serupa. Saat itupula, ada dorongan hati untuk menjadi
jembatan antara dia dan orang yang menuduhnya.
“Minta maaflah kepadanya, atas
kesalahan yang diperbuat orang itu kepada kawanmu.” Suara di hatiku berbicara.
Tapi bukan
aku yang bersalah. Kenapa aku harus menanggungnya?
“Tapi kamu
pernah mengalami hal yang sama. Dan kamu telah berhasil mengatasinya. Jadilah
pendamai antara keduanya.” Suara lembut itu berbicara lagi.
Akhirnya.
Aku menatap kawanku. Aku memegang pundaknya. “Aku tahu, aku bukan dia. Tapi, anggap
saja ini dari dia. Karena aku mengenal orangnya. Aku ingin bilang, aku minta
maaf.”
Mata kawanku
tiba-tiba berkaca-kaca.
“Aku tahu
siapa dia. Dulupun aku pernah di posisimu. Tapi dia tak bermaksud demikian.
Mungkin caranya yang salah. Aku tak bermaksud membelanya. Aku hanya ingin minta
maaf, semoga ini bisa membuatmu merasa lebih baik. Tolong anggap ini darinya.”
Airmatanya
tak tertahankan. Jatuh satu demi satu. Aku kaget. Aku menarik pundaknya
mendekat. Setengah memeluk.
“Mbak.
Terima kasih,” ucapnya lirih. Terbata-bata. Ia mengusap airmatanya dengan ujung
jilbabnya. Lalu tersenyum. “Godspeed.”
Satu kata
maaf. Dan itu ampuh.
*
We are hard-pressed on every side, yet not crushed; we are perplexed, but not in despair;
persecuted,
but not forsaken; struck down, but not destroyed. Kita belajar hal yang terbaik saat kita mengalami keadaan yang terburuk. Kita belajar tak memperlakukan orang lain dengan buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.
Salam.