Aku ingin menceritakan perempuan-perempuan hebat ini. Mereka adalah orang-orang yang aku panggil sahabat: Effie, Floren, Joice, dan Monic. Aku tak pernah sembarang menyebut orang sahabat. Sebab kata sahabat bagiku adalah orang yang benar-benar mengetahui siapa kamu, baik dan burukmu, saat terbaik dan terendah dalam hidupmu.
Kisah kami mirip cerita dalam novel Louisa May Alcott, The Little Women. Bahkan mungkin lebih baik dari novel legendaris itu, ehem! Kami sudah seperti saudara, sekalipun beda orangtua, bahkan berbeda suku. Ini adalah kisah The Little Women versiku.
Aku bertemu saat mereka duduk di bangku sekolah menengah atas. Uhm, kecuali Floren. Aku sudah mengenalnya bahkan sejak aku masih usia Taman Kanak-kanak.
Waktu itu, aku ditunjuk main drama Natal, berperan sebagai salah satu malaikat yang datang ke kandang Betlehem, tempat Yesus lahir. Nah, Floren juga berperan sebagai malaikat. Setelah itu, kami pun satu Sekolah Dasar. Tapi tidak akrab. Kami baru benar-benar akrab ya saat SMA itu.
Aku tidak ingat, apa yang membuat kami tiba-tiba suka jalan bareng. Kalau enggak salah sih, karena kami sama-sama ikut ekstrakurikuler majalah dinding. Juga ikut kegiatan majalah sekolah.
Aku ingat, tiap kali jam istirahat sekolah, kami selalu saling mengunjungi kelas yang lain. Ngobrol bareng, makan di kantin bareng. Kami saling mengagumi bakat masing-masing. Iya, tak satupun dari kami yang sama.
Floren punya talenta di jemarinya. Beri dia kertas dan biarkan dia bermain dengan pensil dan bolpennya. Wow, kamu akan melihat gambar dan arsiran yang luar biasa. Seharusnya dia menjadi komikus. Tidak ada satu haripun aku melihatnya tanpa menggambar. Bahkan waktu guru di depan kelas sedang mengajar, matanya bisa memperhatikan sang guru, tapi jemarinya melukis yang lain. Barangkali impiannya menjadi komikus tak tercapai. Tapi Floren menemukan dunianya yang lain: memasak. Kini, dia punya usaha sendiri membuat cake
Dengan Floren, aku sempat satu kelas. Waktu kami sama-sama milih jurusan IPS. Aku mengandalkannya untuk belajar mata pelajaran akuntansi. Hal berhitung, dia jagonya. Hehe. Aku milih jurusan IPS karena terpaksa. Maunya jurusan Bahasa, sayangnya jurusan itu kemudian dihapus dari sekolah. Tapi aku beruntung, jadi mengecap mata pelajaran sosial, politik, dan tata negara yang kelak akan mengantarku ke bangku kuliah.
Floren orangnya periang tapi pendiam. Ramah tapi galak. Dia selalu bawa bekal ke sekolah. Dan mengomeli pola makanku yang enggak sehat. "Nieke, kamu kurus. Tapi pipimu cempluk." Lalu Floren menowel-nowel pipiku. Aku enggak bisa berkelit, tubuhnya jangkung, aku mungil. Hiks. Lalu jarinya ditusuk-tusuk ke pipiku, sambil berkata, "Pipluk! Pipluk! Pipi cempluk!"
Lalu aku berteriak, "Plolen, aduh, pipiku jadi berjerawat ini!" Sambil sibuk menangkupkan telapak tanganku masing-masing di kedua sisi pipiku. Mencegah tusukan-tusukan maut kuku mautnya. Barangkali tokoh Floren tak ada dalam novel Little Women. Untuk menjadi Meg, dia terlalu galak (eh). Untuk menjadi Beth, dia telalu kuat dan melindungi temannya. Untuk menjadi Josephine, dia lembut. Dan untuk menjadi Amy, dia bukan tipe yang suka menjadi perhatian banyak orang. Floren adalah Floren. Kalau aku Louisa May Alcott, akan kuciptakan satu tokoh lagi yang sesuai dengan karakter Floren. Sebab, dia istimewa.
Effie. Orangnya jangkung. Putih. Cantik. Tinggi. Langsing. Kayak boneka Barbie. Harusnya dia jadi model aja deh. Dia yang paling modis di antara kami. Aku? Aku buta mode (ehem, saat itu ya, catet! Hehe). Aku dulu cuma ngerti celana jeans, kaos polo, kemeja, celana monyet. Paling enggak suka pakai rok. Sementara Effie seumur itu sudah bisa dandan. Dia ngerti alat-alat make up.
Yang luar biasa dari Effie, orangnya low profile. Kalau aku ikut dia syoping, asik bener. Dia sering bantuin aku milih baju yang sesuai sama aku. (Err... meski waktu dia milihin, aku gak pede dengan gaya fesyen pilihannya). Ini nih slogan Effie yang jadi pegangan aku sampai sekarang. "Baju tuh ya enggak penting bermerek atau enggak. Yang penting cocok sama kita. Nyaman dipakainya."
Effie enggak gengsi beli baju obralan. Walau aku tahu dia dari kalangan keluarga berada yang bisa beli baju-baju bermerek. Ohya, SMA-ku itu adalah sekolah favorit dan yang sekolah di sana yah, umumnya anak-anak yang tajir.
Kesamaan kami: kalau lagi nongkrong ke toko buku Gramedia atau Gunung Agung, kami langsung menuju ke rak buku desain interior atau desain rumah. Lalu kami berkhayal pengen punya rumah yang seperti apa.
Cita-cita Effie jadi arsitek. Sebenernya aku juga pengen jadi arsitek, apa daya tak sanggup di pelajaran eksakta. Kami sama-sama mencintai dunia seni. Salah satunya, seni peran. Berkecimpung dalam klub drama SMA, bersama Monic.
Dalam kisah Little Women, Effie menyamakan dirinya dengan tokoh Megan atau Meg. Karakter yang paling tenang, modis, fesyen, hangat, rendah hati. Impiannya adalah punya rumah yang besar dan keluarga.
Satu waktu, pada jam istirahat sekolah, sambil bercanda kami membayangkan menjadi tokoh-tokoh dalam novel yang kami kagumi itu. "Aku ingin jadi seperti Meg," begitu kata Effie.
Lalu aku bilang aku mau menjadi Jo--Josephine. Tokoh yang agak tomboi dan suka menulis. "Aku akan menulis novel dan naskah drama sama seperti Jo dan tinggal di rumah yang nyaman, kehidupan yang sederhana." Terus terang, aku sama sekali tak pernah membayangkan akan menjadi wartawan seperti sekarang. Bayanganku hanya sederhana: penulis freelance dan berumahtangga. Menikmati hari-hariku dengan santai.
Floren menyahut. "Kalau punya anak, terus kamu menulisnya gimana?"
Dengan mata jahil, aku menjawab," Pa, ini anakmu, urus dulu ya. Aku mau nulis." Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku.
Cita-cita Effie tercapai. Dia lulus kuliah arsitektur lalu menikah. Seperti Meg. Sayangnya, kami kini terpisah lautan yang membentang.
Barangkali yang paling cocok menjadi Amy adalah Joice. Dia mempunyai lesung pipit di kedua pipinya. Agak galak, tapi dia bisa berteman dengan semua orang. Bukan tipe yang pemalu.
Sebenarnya aku dan Joice seperti bumi dan langit. Dia api. Aku air yang bisa panas dan bisa dingin. Dia talkative. Aku jadi ikutan bawel. Joice ceplas-ceplos. Aku cenderung memilih kata bila bicara. Tapi, kami klop. Entah kenapa.
Kalau sudah ngobrol, kami bisa lupa waktu. Tentang apapun. Bisa berjam-jam. Dulu belum ada ponsel. Cuma telepon rumah. Kami saling menelpon di atas jam 21.00, lalu bisa bablas sampai tagihan telepon melonjak. Hahaha. Tapi jangan salah, kami paling enggak suka bergosip. Pembicaraan kami mulai dari komik favorit, cowok idaman, hingga masalah keluarga. Aku cukup beruntung memiliki teman-teman yang tidak suka bully orang, atau menertawakan kebodohan orang.
Joice juga bergabung dalam klub drama sekolah. Dalam hal fesyen, oh, dia berani eksperimen. Sementara aku masih nyaman dengan celana jeans dan gaya tomboiku. Oh betapa aku merindukan Joice yang hangat dan supel.
Monic paling tepat menjadi Beth, meski ia tidak sakit-sakitan seperti sang tokoh. Tapi Beth itu lembut. Tunggu, mungkin Monic adalah perpaduan antara Beth dan Amy. Karena kecantikannya memukau semua orang. Ia punya tulang wajah yang bagus. Rambutnya bergelombang. Cita-citanya menjadi aktris, hidup di dunia seni, seperti Amy.
Aku dan Floren selalu berperan sebagai pelindung Monic. Terutama menjaganya dari cowok-cowok yang iseng. Dulu pernah ada teman sekelas yang naksir Monic. Cowok itu langsung menjadi sasaran aku dan Floren. Kami sering menatap dengan cara menantang, seolah berkata, "Awas kamu ya kalau sampai ganggu Monic."
Aku baru bertemu Monic di SMA. Kala itu, dia baru saja pindah dari Kenya, Afrika. Bahasa Indonesianya belum lancar. Bicaranya bercampur antara Bahasa Inggris dengan Bahasa Indonesia. Untung enggak seperti Cinta Laura (eh). Hihihi. Keunggulannya dalam berbahasa asing itulah yang sering mengantarkan dia ke kejuaraan pidato dalam Bahasa Inggris. Aku dan Monic sama-sama enggak doyan eksakta. Sama-sama ingin segera melarikan diri ke dunia kami, dunia seni.
Kalau kami semua berkumpul di tengah jam istirahat, kami seperti March bersaudara. Membaca naskah drama dan melakonkannya. Bukan berarti kami tak pernah berselisih paham. Tapi seperti magnet yang berbeda kutub. Kami tak sanggup saling berdiam diri terlalu lama.
Kini, keluarga 'March' Little Women ini berpencar. Masing-masing kami meniti jalan hidup kami masing-masing. Beberapa di antaranya tak pernah terpikirkan. Sama seperti aku yang tak pernah membayangkan menjadi wartawan. Bergulat dengan isu ekonomi, sosial, dan politik. Hidup di kota metropolitan. Menemukan kerumitan. Mengarungi 'lautan.'
Tapi waktu tak akan pernah mengempas ingatan dan sayang kepada mereka. Aku bersyukur. Bersama mereka. Kami membicarakan tentang kehidupan. Kami mengenal kehidupan. Kami menjadi bagian kehidupan.
Dear Effie, Floren, Joice, dan Monic. Kita tak lagi menjadi little women. Gadis-gadis kecil. Kita menjadi perempuan dewasa. Terima kasih menjadi bagian dari hidupku.
Kalian istimewa. Sungguh. Aku sayang kalian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.
Salam.