Hidup itu seperti bawang, bisa membuat kita menangis kala teriris. Tapi menyehatkan kala dimakan. |
Tapi belakangan ini, atas beberapa peristiwa yang terjadi. Mendadak saya menyesali beberapa hal yang tidak saya ambil di masa lalu.
Pertama, kesempatan fellowship ke Jerman. Betapa saya ingin menginjakkan kaki di Benua Eropa. Sebetulnya impian saya adalah ke Paris, Venesia, Roma. Bukan, bukan untuk belanja. Saya nggak demen syoping. Saya demen sejarah. Saya ingin melihat arsitekturnya yang memukau dan mengunjungi musium-musiumnya untuk menengok kemasyuran kota itu. Lantas, kenapa saya membidik fellowship ke Jerman? Karena negara itulah yang banyak menawari scholarship dan fellowship. Dan saya tahu, sekali saya mendarat di salah satu negara di Eropa, saya bisa mengelilingi negara-negara di sana hanya dengan satu visa. Itu impian saya.
Beberapa tahun lalu, kesempatan itu datang. Setelah beberapa kali takut mendaftar karena sempat enggak pede dengan bahasa Inggris saya, akhirnya saya membulatkan tekad. Tapi di saat yang sama, saya bertemu dengan sebuah project. Project yang saya pikir, wow, it must be from God. Di saat seperti itulah kesempatan ke Jerman datang. Rasa tanggung jawab membuat saya berpikir, saya mesti mengutamakan project. Paling enggak, sampai situasi stabil. Ternyata itu keputusan yang salah. Tahun-tahun berikutnya, apa yang terjadi jauh dari ekspektasi. Dan orang-orang yang saya pikir akan berdiri bersama saya, menghilang.
Kedua, tantangan ke pulau seberang selama tiga sampai enam bulan. Lagi-lagi, saya memutuskan tidak karena alasan yang sama seperti saya melewatkan kesempatan ke Jerman. Ah, bodohnya, seharusnya saya belajar dari pengalaman.
Atas dua hal ini saya--akhirnya--kini merasa menyesal. Jika ada orang bertanya, pernahkah saya menyesali sesuatu dalam hidup, dengan sedih saya mengatakan: kini saya punya jawabannya.
Saya tak mau terjebak dalam pesta sayang diri. Saya masih mau mempercayai surat Paulus di Roma 8:28. Hal-hal yang tidak menyenangkan bisa datang dalam hidup, tapi Tuhan bisa memutarbalikkan semuanya demi kebaikan saya. Saya mulai lagi mengaduk-aduk informasi scholarship dan fellowship. Isi aplikasi sana-sini. Impian saya ke menjelajah dunia belum pudar. Kata-kata seorang teman menginspirasi saya. Waktu itu, saya tengah mempertimbangkan mendaftar aplikasi ke kota Apel di Amerika Serikat. Fellowship untuk tujuh bulan di rimba kota politik negara Obama.
"Tapi saya tidak suka Amerika," kata saya kepada seorang teman kala membincangkan ini dengannya.
"Kamu pernah ke Amerika?"
Saya menggeleng.
"Kenapa kamu bilang kamu tidak suka Amerika?"
Saya mengangkat bahu. "Saya tidak suka budayanya, individualis. Saya tidak bisa membayangkan saya bisa bertahan hidup atau tidak di sana. Eropa lebih hangat dan nyaman. Saya suka seni."
"Kamu kan belum pernah ke Amerika dan merasakannya kan? Gimana kamu bisa bilang seperti itu?"
Saya tidak bisa menjawab. Teman saya ini memang cukup beruntung merasakan liputan di kota-kota di Amerika dan negara-negara di dunia. Dan ya, dia pernah menginjakkan kaki di kota fellowship itu, Washington.
"Kamu mesti membuka diri atas apapun. Kadang-kadang, bukan kita yang memilih scholarship dan fellowship, tapi merekalah yang memilih kita," ujarnya.
Lalu terbayang di benak saya. Formulir-formulir fellowship itu: India, Myanmar, Afrika, Washington, Singapura. Dan ya, barangkali saya terlalu banyak berpikir. Saatnya saya mengisi semua aplikasi-aplikasi itu.
"Orang luar itu cuma lihat enaknya ketika melihat kita perjalanan ke luar negeri. Mereka nggak tahu, bagaimana perjuangan kita. Susahnya mengisi dokumen. Jatuh-bangunnya mencari peluang. Tapi kamu mesti mencoba dan jangan menyerah." Selagi kamu belum menikah, selagi kamu masih muda, selagi kamu masih bekerja di dunia industri yang membuatmu menemukan banyak kesempatan meraih scholarship dan fellowship. Buru semuanya itu.
Barangkali, dalam episode ini, Tuhan sedang mengajar saya mengenai melangkah dengan iman.
Pernah kudengar, a good friend is like an angel. Malam itu, saya mengucap syukur, thanks God. You have send an angel to me. Jika takdir belum mengantarkan saya menjelajah kota impian: Paris (Oh Louvre!), Venesia, dan Roma, barangkali saya mesti mengambil jalan memutar. Bumi itu bulat, barangkali saya harus berjalan mengitarinya untuk mencapai impian saya. Selalu ada jalan lain ke Paris.
Let yourself to make a journey. With God, there's nothing impossible.
How about you? Have you ever regret of something? How do you handle it?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.
Salam.