Kalau kita piawai memainkan kata, kita bisa membuat suatu kesan dalam tulisan. Kita bisa membuat pembaca emosi. Kita bisa meninggalkan jejak di hati pembaca. Kejam, sadis, kasar, lucu, dramatis, dan romantis.
Cangkem. Lambe. Cingur. Congor.
Hari itu saya mencatat kosakata yang mempunya satu makna: mulut.
Gusti, mengko tak cingur wae yo cangkeme... Eh lambene....
Saya bayangkan wajah Anda merah padam. Meradang.
Saya mencoba membuat satu kalimat dengan mencampur-aduk kata-kata tadi. Saya tahu kenapa Anda meradang, karena paduan ramuan kata-kata ini terasa kasar. Kenapa kasar? Karena saya memakai pilihan kata yang kasar. Dalam Bahasa Jawa istilahnya Ngoko, atau Bahasa Jawa yang digunakan untuk rakyat jelata. Atau malah, bahasa Jawa yang “lebih rendah” derajatnya dibanding Ngoko, karena digunakan untuk merendahkan orang.
Jika saya sanggup membuat reaksi Anda kesal saat membaca kalimat ini, artinya saya berhasil. Hanya dengan meramu pilihan kata-kata, saya sudah memancing emosi dan pikiran Anda. Tentu beda reaksinya jika saya mengungkapkan hal yang sama dengan pilihan kata yang lebih halus.
Artinya, dengan penggunaan pilihan kata yang tepat—entah kasar atau halus—kita bisa mempengaruhi perasaan dan opini orang. Kata itu punya kekuatan.
Bahasa Indonesia pun mempunyai pilihan kata yang beragam untuk satu makna yang sama. Mati, meninggal, wafat, tewas, ko'it, mampus. Artinya memang sama. Tapi hati-hati penggunaannya. Salah menggunakan bisa fatal.
Mati biasanya untuk hewan. Meninggal untuk orang. Wafat untuk orang yang berjasa atau tokoh. Tapi kadang kata "mati" digunakan untuk manusia. Misalnya: "Mati kau." Nah, ini untuk merendahkan dan menghina. Kata "tewas" biasanya digunakan untuk orang yang meninggal dalam peperangan dan perkelahian.
Kata "ko'it", "mampus", termasuk yang bermakna kasar. Oya ada satu lagi: "modar". Sayangnya kata-kata semacam ini sering muncul di sinetron. Lucunya, kata-kata semacam itu nggak cuma muncul di sinetron ala ibu-ibu. Tapi juga yang tokohnya anak-anak. Gila nggak?
Mentor menulis saya, Pak Amarzan Loebis, pernah bercerita di dalam diskusi kelas menulis di kantor kami. Kata baku untuk kutu busuk adalah kepinding. Kata lain yang punya arti sama untuk kutu busuk: tinggi (Bahasa Jawa). Hal yang membuat saya kaget ketika beliau cerita, kalau kata “bangsat” itu artinya kutu busuk. Saya membatin, berarti kalau orang memaki pakai kata itu, lagi bilang orang itu kayak kutu? Begitu?
Kalau kita piawai memainkan kata, kita bisa membuat suatu kesan dalam tulisan. Kita bisa membuat pembaca emosi. Kita bisa meninggalkan jejak di hati pembaca. Kejam, sadis, kasar, lucu, dramatis, dan romantis.
Saya ingat saya tertawa terbahak-bahak ketika menonton acara Srimulat. Eh acara ini sudah nggak ditayangkan di televisi. Penulis naskahnya tahu kekuatan pemilihan diksi. Ia mencampur kata yang kasar dan halus secara bersamaan. Hingga yang timbul adalah kelucuan rasa bahasa.
Ah ya, Tukul di acara Empat Mata termasuk yang lihai memainkan diksi. Coba tebak, kata-kata yang mana? Ada penyiar Hard Rock Surabaya yang juga memanfaatkan permainan campur diksi Bahasa Jawa. "Tak sobek-sobek (cangkemmu)." Sebenarnya kalimat yang kasar, tapi intonasi dan gaya penyiarnya menjadikan kalimat kasar yang seharusnya membuat orang marah ini malah tertawa terbahak-bahak.
Acara infotainment lain lagi, gemar menggunakan kata-kata puitis. Tapi entah kenapa, kalimat senjata pujangga yang seharusnya mempesona ini, menciptakan rasa bahasa yang murah dan berlebihan. Istilah masa kininya: “lebay.” Ada yang tahu kenapa?
Campur aduk bahasa yang menciptakan kelucuan. Dengan kata lain, kelucuan muncul karena keberanian seseorang keluar dari tatanan sistem bahasa, mencampur bahasa yang kasar dengan yang halus.
Ehem, pengecualian untuk sinetron. Mau lucu atau tidak. Menurut saya, kata-kata kasar layaknya disensor.
Kenapa kata bisa punya derajat makna rendah dan kasar, atau halus? Manusialah yang melabelinya sesuai dengan kulturnya.
Kata “wanita” misalnya, kini menjadi kontraversi dan dianggap kasar, setelah adanya gerakan feminisme. Dianggap merendahkan kaum hawa. Ada yang berpendapat kata itu mempunyai arti “wani ditata”, maksudnya perempuan yang harus diatur dan menurut. Sampai saat ini, kata "wanita" masih jadi perdebatan soal derajat kasar atau tidaknya. Kata “perempuan” dianggap lebih halus.
Kata “cewek” pun, dianggap kasar. Padahal kata “cewek” ini populer bersamaan dengan “lo” dan “gue”. Kata seorang teman saya, derajatnya semakin turun ketika sebuah lagu menggunakan judul “Cewek Matre”. Menimbulkan arti yang berbeda lagi.
Tak cuma itu. Kata-kata yang menggambarkan binatang bisa menjadi konotasi negatif. Bermakna makian. Saya yakin, penemu kata "anjing" dan "babi" tak bermaksud menjadikannya sebagai kata kasar dan makian. Melainkan, mencoba menjelaskan hewan. Tapi manusia, dengan kulturnya, lalu menciptakan rasa bahasa yang lain, sehingga menjadikannya sebagai kata yang kasar.
Mengetahui derajat kata, akan memperkaya dan memperkuat tulisan kita. Mau menimbulkan kesan apa di mata pembaca. Kita juga menjadi lebih hati-hati menggunakan suatu kata jika mengetahui efeknya. Itulah yang menjadi kekuatan pena kita sebagai penulis.
Tentu saja, ini membutuhkan kedewasaan berpikir dalam menggunakan kata-kata. Konon, orang bilang: "Hidup dan matimu dikuasai oleh lidah (kata-kata) jadi hati-hatilah menggunakannya." Juga, "Mulutmu adalah harimaumu."
Nieke Indrietta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.
Salam.